Senin, 09 Februari 2015

STATUS OTONOMI DAN DAMPAKNYA TERHADAP POLITIK LOKAL

TUGAS RESUME DAN POWER POINT POLITIK LOKAL
fisip logo.jpeg
OLEH :
DWI PUSPITA WULANDARI             713.1.1.1994
KHOLIDATUL JANNAH                                    713.1.1.1981
ACHMAD ZAIDI                                       713.1.1.2012
NICO PUTRA SURYA                             713.1.1.2025
YUDI ARIANTO                                       713.1.1.2088
SEMESTER III C
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP
2014 – 2015
BAB 9
STATUS OTONOMI DAN DAMPAKNYA TERHADAP POLITIK LOKAL

1.    Pendahuluan
            Karakter suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi daerah tersebut. Pemberian status otonomi telah diwadahi dalam baik di dalam Konstitusi, maupun di dalam perundang-undangan lain tentang otonomi daerah.. Namun demikian, tidak semua daerah puas dengan status otonomi yang dimilikinya sehingga muncul keinginan daerah untuk selalu memekarkan diri.
            Sejak tahun 1999, desentralisasi, atau lebih dikenal sebagai otonomi daerah diimplementasikan di Indonesia sebagai bagian dari program restrukturisasi nasional (structural adjustment program) yang diresepkan oleh World Bank.Pada akhirnya, banyak daerah pemekaran baru di Indonesia berdiri tanpa memiliki kelembagaaan yang memadai, sesuai dengan kebutuhan masyarakat berlatar belakang etnis religius beragam. Kurangnya studi empiris dan referensi mengenai pemekaran, dapat berdampak pada kegagalan pemerintah beradaptasi dengan agenda pemisahan daerah administratif (Jones 2004).
2.    Permasalahan Titik Berat Desentralisasi Di Kabupaten/Kota
            Titik berat desentralisasi pada daerah kabupaten/kota menyisakan persoalan antara lain yaitu:
1.     munculnya ketegangan horizontal daerah kaya Vs. miskin karena masing-masing daerah mementingkan daerahnya sendiri dan bahkan bersaing satu sama lain dalam mengumpulkan PAD misalnya;
2.     perbedaan tajam antara kompetensi SDM pusat Vs. daerah;
3.     banyak birokrat daerah yang pasif menunggu instruksi atasan ketimbang berinisiatif menjalankan pekerjaannya;
4.     DPRD menjadi sangat lamban dalam bekerja, terlebih lagi mereka memprioritaskan gaji sendiri untuk kepentingan pengembalian dana ke kas partai dan juga memperbesar anggaran perjalanan dinas;
5.     Pemerintah daerah menjadi mesin pembelanjaan (Ray dan Good Paster, 2005);
6.     Beban keuangan daerah dari pajak ekstra tidak memperhatikan lingkungan;
7.     Tidak adanya koordinasi di tingkat supra-regional, garis batas tanggung jawab antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota sangatkabur;
8.     Merebaknya politik identitas yang ditandai dengan menguatnya egoisme sektoral karena pembangunan bertumpu pada asas dekonsentrasi dan bersifat sektoral.
9.     Peranan polisi sebaga penjaga keamanan dan ketertiban dan tentara sebagai penjaga persatuan dan kesatuan di daerah terabaikan.

3.    Tinjauan Kritis Pada Pergeseran Titik Berat Desentralisasi
            Kedua UU berbicara tentang desentralisasi yang menitikberatkan pada daerah kabupaten/kota dengan pertimbangan:
1.     mendekatkan pelayanan publik pemerintah kepada rakyatnya;
2.     cakupan wilayah provinsi terlalu luas dan kelembagaannya terlalu besar dalam mendorong roda ekonomi menuju pasar bebas;
3.     demokrasi dapat tumbuh lebih baik bila pemerintahannya berskala kecil;
4.     partisipasi masyarakat sipil dalam pembangunan dapat lebih aktif karena dekat dengan pemerintah dan pengusaha (good governance);
5.     daerah kabupaten/kota biasanya, walau tidak semuanya, memiliki sentra-sentra kekuatan ekonomi yang sudah dikelola dengan baik, seperti halnya sumber daya alam, kebudayaan, dan lainnya;
6.     kesejahteraan rakyat dapat lebih diperhatikan oleh pemerintah;
7.     penciptaan lapangan pekerjaan di daerah terutama di bidang administrasi pemerintahan dapat menyerap angkatan kerja berasal dari putra daerah.
            Sehingga, agar desentralisasi sukses, hal yang perlu dilakukan adalah menata kembali kelembagaan desentralisasi beserta kewenangan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat bukan semata-mata kepentingan pemerintah saja.

4.    Dasar Kebijakan Pemberian Status Otonomi Di Indonesia
            Titik berat otonomi daerah di daerah tingkat II selevel kabupaten/kota ketikaUndang-undang Nomor 22/1999 diterbitkan telah menimbulkan permasalahan instabilitas politik di daerah yang ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)          
            Pemberian status otonomi terhadap satu daerah pada akhirnya menimbulkan masalah baru, terutama bagi daerah-daerah yang belum siap secara matang baik dalam hal sumber daya dan kelembagaan. Status otonomi khusus seperti di Aceh dan Papua pada akhirnya mendorong daerah lain menuntut hal sama, di saat masalah konflik dan kesejahteraan belum tertangani secara adil di kedua daerah khusus tersebut.
5.    Imbas Status Otonomi Khusus pada Dinamika Politik Lokal NAD dan Papua
 Pertimbangan pemerintah pusat dalam melahirkan undang-undang ini antara lain:
a.     bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang;
b.     bahwa salah satu karakter khas yang alami di dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh adalah adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi yang bersumber pada pandangan hidup, karakter sosial dan kemasyarakatan dengan budaya Islam yang kuat sehingga Daerah Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c.      bahwa untuk memberi kewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dipandang perlu memberikan otonomi khusus;
d.     bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dipandang belum menampung sepenuhnya hak asal-usul dan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh;
e.     bahwa pelaksanaan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
            Pemberian status otonomi khusus bagi Provinsi Nanggoe Aceh Darussalam (NAD) tidak berhenti sampai disitu, karena pada tahun 2006 lahir Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai konsekuensi dari MoU Helsinki Finlandia.Dengan kebijakan otonomi daerah melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 seharusnya ia juga dapat melaksanakannya sama dengan daerah lainnya, tidak perlu otonomi khusus. Berdasarkan pemaparan di atas, baik landasan konsep dan kebijakan mengenai titik berat desentralisasi maupun pemberian status otonomi, memiliki permasalahan masing-masing pada saat implementasi di lapangan. Permasalahan tersebut menandakan bahwa otonomi merupakan suatu dinamika, terutama berdampak pada level lokal.Hendaknya, kebijakan pemberian status otonomi terhadap suatu daerah merupakan pencerminan atas kebutuhan sosial ekonomi dan politik rakyat setempat. Kebijakan pemberian status otonomi bersifat universal atau seragam hendaknya perlu ditinjau kembali, karena pemberian status otonomi khusus semisal di NAD dan Papua sendiri masih menimbulkan konflik kesenjangan di berbagai sektor.
6.    Dampak otonomi daerah terhadap masyarakat
Otonomi daerah telah telah melahirkan begitu banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa da bernegara. Dampak otonomi daerah sangat luas, tidak hanya sekedar menciptakan perubahan pada aspek pemerintahan tetapi perubahan pada hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat termasuk budaya, ekonomi dan politik.
Dampak otonomi daerah yang luas tersebut timbul karena otonomi daerah pada dasarnya memiliki makna strategis yang berkaitan erat dengan tata kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat indonesia, yang di tandai dengan meningkatnya peran masyarakat dalam proses pembangunan. Peran tersebut diwujudkan dalam bentuk partisipasi, prakarsa dan kreativitas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya masing-masing.
Secara faktual, konepsi otonomi daerah sejak dilaksanakan pada tahun 1999 hingga saat ini telah melahirkan berbagai perubahan, diantara sekian banyak dampak otonomi daerah terhadap kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara tersebut, ada damapak otonomi daerah yang dinilai positif tetapi tidaksedikit pula dampak otonomi daerah yang diniai negatif. Dampak positif yang dirasakan adalah bahwa dengan otonomi daerah maka pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali perintah pusat mendapatka respon tinggi dari perintah dearah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang di peroleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintahan pusat. Dana tersebut memungkin pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan serta membangun program promosi kebudayaan dan juga parawisata yang sudah mengakar. Dengan melakukan otonomi daerah maka kebijakan-kebijakan pemerintah akan lebih tepat sasaran , hal tersebut dikarenakan pememrintah daerah cenderung lebih mengerti keadaan dan situasi daerahnya, serta potensi-potensi yang ada di daerahnya daripada pemerintah pusat. Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagi oknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan Negara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang ada kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya.
7.    Beberapa contoh kasus penyalahgunaan OTONOMI DAERAH oleh ELIT LOKAL
Dalam kenyataannya, otonomi daerah yang dalam hakikatnya merupakan suatu tujuan yang sangat baik bagi kemajauan bangsa ini, justru banyak sekali terjadi penyalahgunaan dalam pelaksanaanya, tidak hanya di tingakt pemerintah pusat melainkan di tingkat pemerintah daerah hingga unsur pelaksana lainnya dalam pelaksanaan otonomi daerah ini. Walaupun pemerintah sering menyuarakan program otonomi daerah ini di setiap sudut wilayah negara, namun pada kenyataannya pembangunan masih belum merata di setiap daerah di Indonesia. Berbagai cara dilakukan demi meratanya pembangunan dan kesejahteraan bangsa ini yang pada kenyataanya mendapatkan hasil yang kurang memuaskan bahkan nihil. Pelaksanaan otonomi daerah yang disalahgunakan mengakibatkan kekecewaan masyarakat daerah setempat. Kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap ketidakpuasan pelaksna otonomi daerah rata-rata terwujud dalam bentuk hal negatif. Beberpa contoh kasus adalah sebagai berikut:
Kekecewaan masyarakat Papua terhadap pelaksanaan otonomi Daerah yang tidak sesuai harapan.
Beberapa kasus muncul di Papua akibat kesalahan dalam pelaksanaan Otoonomi Daerah, antara lain kasus Freeportdanorganisasi Papua Merdeka (OPM). Kasus Freeportadalah kasus mengenai suatu perusahaan tambang yang sudah sekian lama mengeruk kekayaan alam Papua , justru kehadiran PT. Freeport merugikan penduduk pribumi. Sedangkan kasus kasus organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah kasus yang menginginkan penduduk pribumi Papua untuk lepas dari Negara kesatuan Republik indonesia dan membentuk Negara sendiri.
Pada kasus Freeport, pemerintah memberi ijin kepada PT Freeport untuk melakukan kegiatan pertambangan di daerah Papua. Pemberian ijin dalam melakukan kegiatan pertambangan ini merupakan suatu bentuk kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, guna membangun daerahnya. Dalam pemberian ijin ini pemerintah pusat pun terlibat. Adanaya suatu industri di suatu daerah harusnya memberikan kemajuan bagi masyarakat sekitar, entah itu industri yang dijalankan bangsa Imdonesia itu sendiri maupun bangsa luar.
Sebagai akibat dari rasa ketidakpuaasan atau kekecewaan mendapatkan perilaku yang tidak adil, beberapa penduduk papua menghendaki adanya negara baru, Organisasi papua Merdeka (OPM). Beberpa aksi gencar diluncurkan demi mewujudkan keinginan memisahkan diri dari Negara kesatuan Republik Indonesia. Aksi yang sering mereka lakukan dalam menyampaikan aspirasinya adalah melalui mengibarkan bendera bintang kejora di berbagai wilayah Papua. Namun pemerintah Indonesia tidak tinggal diam menghadapi permasalahan ini. Aparat keamanan dikerahkan untuk menjaga kesatuan negara Indonesia ini dan menindak tegas segala oknum yang ikut campur dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Sebab terjadinya berbagai di Papua menurut wakil ketua komisi 1 DPR TB Hasanuddin ada 4 faktor, yakni yang pertama, masih adanya perbedaan persepsi masalah integrasi papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut dia, pemerintah menganggap masalah Papua telah final sejak Pentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Kedua, adanya marjinalisasi terhadap penduduk asli Papua. Ketiga, masih adanya pelanggaran HAM yang terus terjadi kendati memasuki era reformasi. Keempat, masalah otonomi khusus (Otsus) yang dianggap Papua tidak jalan.











Korupsi para Pejabat daerah

Otonomi daerah dengan tujuan agar daerah-daerah dapat mengelola secara mandiri segala sumberdaya, keuanagan, maupun sumber-suber lain sebagai pendapat bagi daerah. Antusias yang tinggi “ untuk meningkat kemajuan daerah “ terlihat dari banyaknya daerah-daerah yang meminta dimekarkan sehingga terjadi pemekaran daerah besar-besaran di seluruh wilayah Indonesia. Yang menarik dari “proses mekarnya suatu daerah” ini adalah menjamunya praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum yang bernama pemimpin/petinggi di daerah. Banyak contoh kasus yang dapat memperlihatkan hal ini. Beberapa kasus korupsi yang dilakukan pemimpin daerah dari Provinsi Sumatra Barat yang saya ambil dari beberapa sumber.
Pertama, Yunier Lahar, yang menjabat Walikota Solok. Kasus yang menjaratnya adalah “pembatalan kerjasama antara Pemerintah kota Solok, Sumatra Barat dan Investor Hariadi, yang menyebabkan kerugian negara”. Dalam hal ini negara dirugikan sebesar 1,3 miliar (kompas, 11 agustus 2004)
Kedua, kasus korupsi yang menimpa Wakil Bupati agam. Umar diduga terlibat dalam kasus korupsi proyek swakelola perbaikan jalan lingkungan Dinas Pekerjaan umum Kabupaten Agam tahun 2008 dengan kerugian negara RP 2,9 miliar (kompas, selasa, 9 November 2010)
Ketiga, kasus pengalihan tanah negara di Kabupaten Solok yang dilakukan oleh Wakil Walikota Pariaman Helmi Darlis. Dalam kasus ini kejati Sumbar telah menetapkan tujuh tersangka termasuk mantan Bupati Solok, Gusmal. Dalam kasus ini negara dirugikan sekitar Rp 288 juta (padangkspress, sabtu, 9 juli 2011).
Keempat, Masriadi Martunus dan Edityawaran (mantan Bupati dan asisten III, Pemkab Tanah Datar, Sumber) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan bagi-bagi bunga deposito APBD Tanah Datar tahun 2001-2004 senilai Rp 1,7miliar (Suara karya, 16 Januari 2007)
Kelima, kasus korupsi yang menimpa wakil Walikota Bukittinggi pada tahun 2009 (kompas, 14 Maret 2009)
Keenam, kasus korupsi yang menimpa ketua DPRD kota Payakumbuh Chin Star. Chin Star mengaku telah mengakui telah menyalahgunakan keuangan APBD di luar ketentuan peraturan Pemerintah No 110 Tahun 2000, sekitar Rp 167 juta. Masih banyak contoh kasus lain yang dapat membuktikan betapa maraknya praktik korupsi yang dilakukan oknum yang berada di daerah.
Dampak Positif dan Negatif Desentralisasi bagi Kemajuan Bangsa Indonesia
Jika kita tinjau lebih jauh penerapan kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi sekarang ini, cukup memberikan dampak positif nagi perkembangan bangsa indonesia. Dengan adanya sistem desentralisasi ini pemerintahan daerah diberi wewenang dan tanggung jawab untuk mengatur daerahnya, karena dinilai pemerintahan daerah lebih mengetahui kondisi daerahnya masing-masing. Disamping itu dengan diterapkannya sistem desentralisasi diharapkan biaya birokrasi yang lebih efisien. Hal ini merupakan beberapa pertimbangan mengapa otonomi daerah harus dilakukan.
Dalam setiap kebijakan atau keputusan yang diambil pasti ada sisi positif dan sisi negatifnya. Begitu juga dengan penerapan sistem desentaralisasi ini, memiliki beberapa kelemahan dan kelebihan. Secara terperinci mengenai dampak dampak positif dan negatif dari desentarlisasi dapat di uraikan sebagai berikut :
Segi Ekonomi
Dari segi ekonomi banyak sekali keutungan dari penerapak sistem desentralisasi ini dimana pemerintahan daerah akan mudah untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya, dengan demikian apabila suber daya alam yang dimiliki telah dikelola secara maksimal maka pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat akan meningkat. Seperti yang diberitakan pada majalah Tempo Januari 2003 “Desentralisasi: Menuju Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis Komunitas Lokal”disebutkan :
“Sebagaimana telah diamanatkan oleh Deklarasi Rio dan Agenda 21, pengelolaan sumberdaya alam berbasis komunitas merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologi dan dan sosial. Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya kelautan berbasis komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di indonesia, selain karena efeknya yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia memiliki keterikatan yang kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang dilakukan akan diusahakan demi kebaikan daerahnya dan tidak sebaliknya

HUBUNGAN ORGANISASI PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH

TUGAS RESUME DAN POWER POINT POLITIK LOKAL
fisip logo.jpeg
OLEH :
WILDAN DWI K.                          713.1.1.2005
IMAM WAHYUDI                                    713.1.1.2010
SYAMSUL ARIFIN                      713.1.1.2019
JUNIARDHIE INDRA K.                        713.1.1.1985
MOH. RIZQILLAH I.                   714.1.1.2268

SEMESTER III C
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP
2014 – 2015
BAB 8
HUBUNGAN ORGANISASI PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH

1. Pendahuluan
          Sejurus dengan perubahan iklim global menuju demokratisasi, perhatian terhadap pemerintahan lokalpun lebih banyak dipusatkan kepada upaya mendemokratiskan masyarakat di daerah. Pemerintah lokal dituntut merubah paradigma berpikir dari organisasi tradisional menuju moderen. Perubahan tersebut tidaklah mudah, akan tetapi harus dilakukan mengingat tekanan dunia internasional memaksa pemerintah Indonesia mendesentralisasikan kewenangan pemerintah pusat ke daerah tidak dapat dihindarkan.

2. Dasar Perubahan Organisasi Birokrasi Loka
          Perubahan organisasi di tingkat lokal bergerak seiring perubahan terjadi di tingkat nasional, dimana terjadi pergeseran dari paradigma organisasi lama ke baru. Organisasi moderen memiliki prasyarat terpenuhinya kondisi sumber daya manusia birokrasi di pemerintahan yang mampu merubah mindset mereka dari yang dilayani menjadi pelayan.
          Paradigma lama dalam pengelolaan ataupun manajemen pemerintahan di Indonesia  teori klasik berumur sangat tua, setua peradaban Mesir Kuno, Kerajaan Romawi, dan Kekaisaran Cina. Namun demikian teori yang ada sekarang, merupakan hasil dari pemikiran para ahli dunia Barat tentang manajemen pemerintahan di abad ke-20.

1.   Teori manajemen administratif 52, merupakan teori organisasi klasik dipelopori oleh Mooney dan Reiley. Mereka mengemukakan bahwa organisasi dalam pengertian formal adalah tata tertib, sehingga membutuhkan pengorganisasian dan prosedur ketatatertiban. Tata tertib merupakan landasan organisasi formal.
2.  Teori manajemen administratif 52, merupakan teori organisasi klasik dipelopori oleh Mooney dan Reiley. Mereka mengemukakan bahwa organisasi dalam pengertian formal adalah tata tertib, sehingga membutuhkan pengorganisasian dan prosedur ketatatertiban. Tata tertib merupakan landasan organisasi formal.
      Ciri-ciri organisasi tipe manajemen administratif:
a.      obyektifitas,
b.     rasionalitas,
c.      kepastian,
d.     hirarki,
e.      keahlian.
      Taylor mengemukakan empat prinsip manajemen ilmiah:
a.      melakukan pengembangan manajemen ilmiah yang sebenarnya,
b.     menyeleksi dan melatih pekerja secara ilmiah,
c.      kerjasama atara manajemen dan buruh menyelesaikan tujuan pekerjaan sesuai dengan metode ilmiah,
d.     pembagian tanggung jawab merata antara manajer dan pekerja.     
          Di masa peralihan antara teori klasik dan teori moderen, terdapat teori organisasi neo- klasik dimana kemunculan teori ini diwarnai dengan sentimen ketidakpuasan dari para pekerja akibat penerapan teori organisasi dan manajemen klasik.

Teori neo klasik 53 memiliki dua arus utama:
-       aliran perilaku, tokohnya Mustenberg dan Barnard. Mustenberg menganggap bahwa manusia memiliki kesamaan secara psikologis akan bekerja dengan senang hati jika ada manfaat yang diperoleh dari pekerjaan tersebut dan tidak menemui kendala psikologis dalam pelaksanaan pekerjaan.
-       aliran perilaku dengan pendekatan empiris, pelopor aliran ini adalah Elton Mayo yang terkenal dengan percobaan Hawthorne. Study Mayo mengungkapkan bahwa tingkah laku manusi dalam situasi kerja sangat ditentukan oleh aspek lain seperti situasi kerja, norma kelompok, disamping imbalan ekonomi yang ditawarkan perusahaan semata.
-       aliran kuantitatif, dipelopori oleh Miller dan Starr yang mengemukakan bahwa management science merupakan ilmu keputusan yang dapat diterapkan dengan dihasilkan pemecahan masalah sangat rasional.
Tabel 4. Perbedaan Organisasi Tradisional Dengan Organisasi Moderen

Organisasi Tradisional
Organisasi Moderen

Stabil
Dinamis


Tidak luwes
Luwes


Berfokus pada pekerjaan
Berfokus kepada keahlian
Pekerjaan didefinisikan pada posisi
Pekerjaan
didefinisikan
berdasarkan  tugas

yang harus dilakukan

Berorientasi individu
Berorientasi kelompok kerja
Pekerjaan yang tetap
Pekerjaan sementara

Berorientasi perintah
Berorientasi keterlibatan
Pimpinan unit kerja selalu membuat keputusan
Karyawan berpartisipasi dalam  pengambilan
Keputusan
Berorientasi peraturan
Berorientasi kepada pelanggan
Tenaga kerja yang relatif homogen
Tenaga kerja yang beragam
Hari kerja ditetapkan dari jam 8 sampai 16
Waktu kerja tidak mempunyai batasan waktu
Hubungan hirarki
Hubungan lateral dan jaringan
Bekerja difasilitasi organisasi selama jam kerja
Bekerja dimana saja dan kapan saja
Laporan hasil kerja disampaikan dalam bentuk
Laporan   melalui   informasi   teknologi   e-
tatap muka
government


Sumber: Modul 1, Perumusan Kebijakan Pengembangan Organisasi: Penataan
Organisasi Pemerintah Daerah (Juni 2007), diadaptasi dari Robbins, S.P. and Mary Coulter, Manajemen edisi bahasa Indonesia, Edisi 7, 2004.


3.  Permasalahan  Penerapan  Paradigma  Dalam  Organisasi  Pemerintah Lokal
           Seiring dengan perubahan UU 22/1999 tentang Pemerintah Daerah ke dalam UU 32/2004, arus desentralisasi dari pusat ke daerah semakin tidak terbendung
Permasalahan timbul ketika organisasi pemerintah daerah kota/kabupaten sebagai titik berat otonomi daerah dituntut bekerja keras meningkatkan kapasitas ataupun kemampuan dalam menjalankan otonomi daerah sehingga dapat menyesuaikan dengan perubahan iklim global di abad 21. Kendala-kendala tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh iklim pendahulu yang sangat tidak ingin berubah, pro status quo, dan merasa bahwa organisasi merupakan warisan dari pendahulu tidak perlu ada penambahan maupun pengurangan dari segi kuantitas maupun kualitasnya.

          Parahnya, sikap tidak mau berubah sangat berlawanan dengan konsep organisasi belajar. Sehingga beberapa permasalahan timbul, antara lain:
v  struktur organisasi klasik sangatlah kaku, hirarkis, sangat berorientasi pada pengendalian,
v  gaya interaksi diarahkan pada hubungan-hubungan pemisahan antara atasan-bawahan dengan aspek kepatuhan dan ketaatan pada perintah,
v  iklim lingkungan organisasi pemerintah daerah masih kurang kondusif,
v  organisasi pemerintah daerah masih belum mampu melakukan reformasi menyangkut aturan kepegawaian.
Kendala-kendala menyelimuti SDM di daerah meliputi:
Ø  pengembangan SDM aparatur sekedar formalitas,
Ø  kesalahan melakukan rekrutmen pegawai berlanjut sampai ketidakkompetenan melakukan pekerjaan,
Ø  kekurangseriusan dalam meningkatkan pendidikan dan pengetahuan pegawai ke jenjang lebih tinggi,
Ø  latar belakang pendidikan pegawai masih rendah,
Ø  individu aparatur yang tidak memiliki budaya belajar,
Ø  keberadaan tim atau unit yang berseberangan dengan individu yang tidak mau berubah,
Ø  individu menduduki jabatan memerintah dengan gaya tradisional, otoriter atau semi-otoriter. 57
Beberapa tawaran dapat disampaikan dalam merubah paradigma tradisional (lama) ke paradigma moderan (baru) dengan menumbuhkan semangan learning organization, antara lain adalah:
1.      perlu dilakukan penataan atau transformasi organisasi secara kontinyu dan konsisten,
2.     proses pengambilan keputusan diupayakan melibatkan pegawai,
3.     memberdayakan insentif untuk memotivasi pegawai,
4.     untuk jangka panjang perlu menyempurnakan manajemen perekrutan PNS di lingkungan Pemda bebas KKN,

5.     reformasi penyelenggaraan Diklat PNS yang hanya sebatas penyelenggara bukan berorientasi pada peningkatan Skill, Knowledge, and Attitude SDM aparatur. 58
          Dengan demikian lingkungan amatlah mempengaruhi kinerja dan organisasi Pemda.
Organisasi birokrasi Pemda yang mau belajar akan mempermudah dirinya menyesuaikan terhadap perubahan.

4.  Kebijakan Penataan Organisasi Pemerintah Daerah
          Seiring dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 (PP 41/2007) mengganti peraturan sebelumnya Nomor 8 Tahun 2003 (PP 8/2003) tentang Organisasi Perangkat Daerah, seluruh daerah mulai dari provinsi, kabupaten, dan kota berbenah diri. Aturan baru tersebut paling banyak mengatur tata pemerintahan daerah. Pada 2007 saja, pemerintah berhasil meloloskan 45 UU dan 81 PP. Lalu Depdagri mengeluarkan 79 kepmendagri yang terkait langsung dengan pemerintah daerah.           Terutama fokus tulisan akan menganalisis bagaimana lahirnya peraturan mengenai organisasi perangkat daerah yang tidak lama berselang antara satu dengan lainnya membuat daerah bersikap apatis terhadap pusat.

5.  Tumpang Tindih Peraturan Tata Organisasi Pemerintah Daerah
Lahirnya PP 41/2007 menggantikan PP 8/2003 tidak menjadikan PP baru lebih mudah diimplementasikan dari yang lama. PP baru lahir di tengah kondisi internal Departemen Dalam Negeri masih didera kegalauan di tengah ketidakpastian kepemimpinan puncak, M. Ma’ruf, yang terbaring sakit. Pembahasan PP 41/2007 terkesan sangat terburu-buru sehingga gagal membuat perundangan yang komprehensif, detail, dan memenuhi aspirasi daerah. Kondisi tidak produktif bagi daerah tersebut akhirnya memaksa pemerintah pusat mengambil kebijakan baru berupa PP 41/2007 yang juga mendapatkan tantangan di daerah.Padahal turunan perundangan sebelumnya yaitu Permendagri 24/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu mewajibkan daerah membentuk lembaga yang lebih dari sekedar gabungan perangkat daerah yang mengurus
Perijinan  yang  dikoordinir  oleh  sekretariat sebagai bagian perangkat daerah.    Ketidakseriusan pemerintah pusat dalam mendesain peraturan terlihat dari pemaksaan kepentingan pusat di daerah bukan fokus pada daerahnya sendiri. Belum lagi mekanisme pendampingan pemerintah pusat di daerah selepas peraturan terbit boleh  
dibilang tidak ada sehingga pemerintah daerah menginterpretasikan peraturan “seenak perutnya” saja.

6. Dampak Perundangan Organisasi Perangkat Daerah Bagi Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
          Dominannya perspektif pusat dalam merumuskan perundangan tata organisasi daerah terkesan dari minimnya keikutsertaan rakyat di daerah setidaknya perwakilan mereka melalui organisasi kemasyarakat non-parlemen, LSM, dan sebagainya di dalam pembahasannya. Kecurigaan akan skenario besar pemerintah pusat di balik lahirnya perundangan tata organisasi baru menimbulkan berbagai analisis spekulasi akan kekuatan dan kelemahan perundangan di mata pusat dan daerah. kelemahan bagi pemerintah pusat terletak pada menipisnya wibawa pusat di daerah karena kredibilitas dalam menerbitkan perundangan daerah yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah.
          program pembangunan tidak jalan sehingga dana tersimpan di daerah kemudian harus dikembalikan ke pusat, Tentu saja, rakyat sangat merugi dengan posisinya sebagai “penonton sandiwara” pergantian jabatan birokrasi yang “menggila” tanpa hasil nyata pada peningkatan kesejahteraan mereka.
7. Solusi Menguntungkan Kedua Belah Pihak
          Hasil penelitian I Ketut Putra Erawan 59 (2007), staf pengajar ilmu pemerintahan di Universitas Gadjah Mada, tentang penelusuran keberhasilan 4 daerah kabupaten/kota, Bintan, Mataram, Jembrana, dan Bantul, dalam menjalankan pemerintahan lokal sejak desentralisasi dicanangkan, dapat disimpulkan penulis bahwa keberhasilan di daerah ditentukan oleh:
Ø  pemimpin daerah,
Ø  kelompok kepentingan,
Ø  investor,
Ø  birokrasi melalui program-programnya.
          Dengan demikian, penataan organisasi perangkat daerah dapat berhasil bilamana:
*  pendekatan fungsi lebih dikedepankan daripada pendekatan struktur di dalam menata organisasi daerah,
*  kompetensi SDM birokrasi daerah lebih ditingkatkan seiring dengan pemenuhan kebutuhan fungsi organisasi,
*  ada ketegasan penegakan hukum dari pemerintah pusat bila pemerintah daerah tampak tidak bersungguh-sungguh menjalankan perundangan baru,
*  pemerintah pusat tidak melepaskan tangan begitu saja di dalam pelaksanaan perundangan berkaitan dengan daerah,

*  birokrasi daerah netral dari kepentingan politik. 

Comments system