TUGAS
RESUME DAN POWER POINT POLITIK LOKAL
OLEH
:
WILDAN DWI K. 713.1.1.2005
IMAM WAHYUDI 713.1.1.2010
SYAMSUL ARIFIN 713.1.1.2019
JUNIARDHIE INDRA K. 713.1.1.1985
MOH.
RIZQILLAH I. 714.1.1.2268
SEMESTER
III C
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP
2014 – 2015
HUBUNGAN ORGANISASI PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH
DAERAH
1.
Pendahuluan
Sejurus dengan perubahan iklim global menuju
demokratisasi, perhatian terhadap pemerintahan lokalpun lebih banyak dipusatkan
kepada upaya mendemokratiskan masyarakat di daerah. Pemerintah lokal dituntut
merubah paradigma berpikir dari organisasi tradisional menuju moderen.
Perubahan tersebut tidaklah mudah, akan tetapi harus dilakukan mengingat tekanan
dunia internasional memaksa pemerintah Indonesia mendesentralisasikan
kewenangan pemerintah pusat ke daerah tidak dapat dihindarkan.
Perubahan organisasi di tingkat lokal bergerak
seiring perubahan terjadi di tingkat nasional, dimana terjadi pergeseran dari
paradigma organisasi lama ke baru. Organisasi moderen memiliki prasyarat
terpenuhinya kondisi sumber daya manusia birokrasi di pemerintahan yang mampu
merubah mindset mereka dari yang dilayani menjadi pelayan.
Paradigma lama dalam pengelolaan ataupun manajemen
pemerintahan di Indonesia teori klasik berumur sangat tua, setua peradaban
Mesir Kuno, Kerajaan Romawi, dan Kekaisaran Cina. Namun demikian teori yang ada
sekarang, merupakan hasil dari pemikiran para ahli dunia Barat tentang
manajemen pemerintahan di abad ke-20.
1.
Teori manajemen administratif 52, merupakan teori organisasi klasik dipelopori oleh
Mooney dan Reiley. Mereka mengemukakan bahwa organisasi dalam pengertian formal
adalah tata tertib, sehingga membutuhkan pengorganisasian dan prosedur
ketatatertiban. Tata tertib merupakan landasan organisasi formal.
2. Teori manajemen administratif 52, merupakan teori organisasi klasik dipelopori oleh
Mooney dan Reiley. Mereka mengemukakan bahwa organisasi dalam pengertian formal
adalah tata tertib, sehingga membutuhkan pengorganisasian dan prosedur
ketatatertiban. Tata tertib merupakan landasan organisasi formal.
Ciri-ciri
organisasi tipe manajemen administratif:
a.
obyektifitas,
b.
rasionalitas,
c.
kepastian,
d.
hirarki,
e.
keahlian.
Taylor mengemukakan empat prinsip manajemen ilmiah:
a.
melakukan pengembangan manajemen ilmiah yang sebenarnya,
c.
kerjasama atara manajemen dan buruh menyelesaikan tujuan pekerjaan
sesuai dengan metode ilmiah,
d.
pembagian tanggung jawab merata antara manajer dan pekerja.
Di masa peralihan antara teori klasik dan teori
moderen, terdapat teori organisasi neo- klasik dimana kemunculan teori ini
diwarnai dengan sentimen ketidakpuasan dari para pekerja akibat penerapan teori
organisasi dan manajemen klasik.
-
aliran
perilaku, tokohnya Mustenberg dan Barnard. Mustenberg menganggap bahwa manusia
memiliki kesamaan secara psikologis akan bekerja dengan senang hati jika ada
manfaat yang diperoleh dari pekerjaan tersebut dan tidak menemui kendala
psikologis dalam pelaksanaan pekerjaan.
-
aliran perilaku dengan pendekatan empiris, pelopor aliran ini adalah
Elton Mayo yang terkenal dengan percobaan Hawthorne. Study Mayo
mengungkapkan bahwa tingkah laku manusi dalam situasi kerja sangat ditentukan
oleh aspek lain seperti situasi kerja, norma kelompok, disamping imbalan
ekonomi yang ditawarkan perusahaan semata.
-
aliran kuantitatif, dipelopori oleh Miller dan Starr yang mengemukakan bahwa management science merupakan ilmu keputusan yang
dapat diterapkan dengan dihasilkan pemecahan masalah sangat rasional.
Tabel
4. Perbedaan Organisasi Tradisional Dengan Organisasi Moderen
Organisasi Tradisional
|
Organisasi Moderen
|
|
|
Stabil
|
Dinamis
|
|
|
Tidak
luwes
|
Luwes
|
|
|
Berfokus
pada pekerjaan
|
Berfokus
kepada keahlian
|
||
Pekerjaan
didefinisikan pada posisi
|
Pekerjaan
|
didefinisikan
|
berdasarkan tugas
|
|
yang harus
dilakukan
|
|
|
Berorientasi
individu
|
Berorientasi
kelompok kerja
|
||
Pekerjaan
yang tetap
|
Pekerjaan
sementara
|
|
|
Berorientasi
perintah
|
Berorientasi
keterlibatan
|
||
Pimpinan
unit kerja selalu membuat keputusan
|
Karyawan
berpartisipasi dalam pengambilan
Keputusan
|
||
Berorientasi
peraturan
|
Berorientasi
kepada pelanggan
|
||
Tenaga
kerja yang relatif homogen
|
Tenaga
kerja yang beragam
|
||
Hari kerja
ditetapkan dari jam 8 sampai 16
|
Waktu
kerja tidak mempunyai batasan waktu
|
||
Hubungan
hirarki
|
Hubungan
lateral dan jaringan
|
||
Bekerja
difasilitasi organisasi selama jam kerja
|
Bekerja
dimana saja dan kapan saja
|
||
Laporan
hasil kerja disampaikan dalam bentuk
|
Laporan melalui
informasi teknologi e-
|
||
tatap muka
|
government
|
|
Sumber: Modul 1, Perumusan Kebijakan
Pengembangan Organisasi: Penataan
Organisasi Pemerintah Daerah (Juni 2007), diadaptasi dari Robbins, S.P. and Mary Coulter, Manajemen
edisi bahasa Indonesia, Edisi 7, 2004.
3. Permasalahan
Penerapan Paradigma Dalam
Organisasi Pemerintah Lokal
Seiring dengan perubahan UU 22/1999 tentang
Pemerintah Daerah ke dalam UU 32/2004, arus desentralisasi dari pusat ke daerah
semakin tidak terbendung
Permasalahan timbul ketika organisasi pemerintah daerah kota/kabupaten
sebagai titik berat otonomi daerah dituntut bekerja keras meningkatkan
kapasitas ataupun kemampuan dalam menjalankan otonomi daerah sehingga dapat
menyesuaikan dengan perubahan iklim global di abad 21. Kendala-kendala tersebut sangat mungkin dipengaruhi
oleh iklim pendahulu yang sangat tidak ingin berubah, pro status quo,
dan merasa bahwa organisasi merupakan warisan dari pendahulu tidak perlu ada
penambahan maupun pengurangan dari segi kuantitas maupun kualitasnya.
Parahnya, sikap tidak mau berubah sangat berlawanan
dengan konsep organisasi belajar. Sehingga beberapa permasalahan timbul, antara
lain:
v struktur organisasi klasik sangatlah kaku,
hirarkis, sangat berorientasi pada pengendalian,
v gaya interaksi diarahkan pada hubungan-hubungan
pemisahan antara atasan-bawahan dengan aspek kepatuhan dan ketaatan pada
perintah,
v organisasi pemerintah daerah masih belum mampu
melakukan reformasi menyangkut aturan kepegawaian.
Kendala-kendala menyelimuti SDM di daerah meliputi:
Ø pengembangan SDM aparatur sekedar formalitas,
Ø kesalahan melakukan rekrutmen pegawai berlanjut
sampai ketidakkompetenan melakukan pekerjaan,
Ø kekurangseriusan dalam meningkatkan pendidikan dan
pengetahuan pegawai ke jenjang lebih tinggi,
Ø latar belakang pendidikan pegawai masih rendah,
Ø individu aparatur yang tidak memiliki budaya
belajar,
Ø keberadaan tim atau unit yang berseberangan dengan
individu yang tidak mau berubah,
Beberapa tawaran dapat disampaikan dalam merubah
paradigma tradisional (lama) ke paradigma moderan (baru) dengan menumbuhkan
semangan learning organization, antara lain adalah:
1.
perlu dilakukan penataan atau transformasi organisasi secara kontinyu
dan konsisten,
2.
proses pengambilan keputusan diupayakan melibatkan pegawai,
3.
memberdayakan insentif untuk memotivasi pegawai,
4.
untuk jangka panjang perlu menyempurnakan manajemen perekrutan PNS di
lingkungan Pemda bebas KKN,
5.
reformasi penyelenggaraan Diklat PNS yang hanya sebatas penyelenggara
bukan berorientasi pada peningkatan Skill, Knowledge, and Attitude SDM
aparatur. 58
Dengan demikian lingkungan amatlah mempengaruhi kinerja dan organisasi
Pemda.
Organisasi birokrasi Pemda yang mau belajar akan
mempermudah dirinya menyesuaikan terhadap perubahan.
4. Kebijakan Penataan Organisasi Pemerintah Daerah
Seiring dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 (PP
41/2007) mengganti peraturan sebelumnya Nomor 8 Tahun 2003 (PP 8/2003) tentang
Organisasi Perangkat Daerah, seluruh daerah mulai dari provinsi, kabupaten, dan
kota berbenah diri. Aturan baru tersebut paling banyak mengatur tata
pemerintahan daerah. Pada 2007 saja, pemerintah berhasil meloloskan 45 UU dan
81 PP. Lalu Depdagri mengeluarkan 79 kepmendagri yang terkait langsung dengan
pemerintah daerah. Terutama fokus tulisan akan menganalisis bagaimana
lahirnya peraturan mengenai organisasi perangkat daerah yang tidak lama
berselang antara satu dengan lainnya membuat daerah bersikap apatis terhadap
pusat.
5. Tumpang Tindih Peraturan Tata Organisasi Pemerintah
Daerah
Lahirnya PP 41/2007 menggantikan PP 8/2003 tidak menjadikan PP baru
lebih mudah diimplementasikan dari yang lama. PP baru lahir di tengah kondisi
internal Departemen Dalam Negeri masih didera kegalauan di tengah
ketidakpastian kepemimpinan puncak, M. Ma’ruf, yang terbaring sakit. Pembahasan
PP 41/2007 terkesan sangat terburu-buru sehingga gagal membuat perundangan yang
komprehensif, detail, dan memenuhi aspirasi daerah. Kondisi tidak produktif
bagi daerah tersebut akhirnya memaksa pemerintah pusat mengambil kebijakan baru
berupa PP 41/2007 yang juga mendapatkan tantangan di daerah.Padahal turunan
perundangan sebelumnya yaitu Permendagri 24/2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu mewajibkan daerah membentuk
lembaga yang lebih dari sekedar gabungan perangkat daerah yang mengurus
Perijinan
yang dikoordinir oleh
sekretariat sebagai bagian perangkat daerah. Ketidakseriusan pemerintah pusat dalam mendesain
peraturan terlihat dari pemaksaan kepentingan pusat di daerah bukan fokus pada
daerahnya sendiri. Belum lagi mekanisme pendampingan pemerintah pusat di daerah
selepas peraturan terbit boleh
dibilang
tidak ada sehingga pemerintah daerah menginterpretasikan peraturan “seenak
perutnya” saja.
6. Dampak Perundangan Organisasi Perangkat Daerah
Bagi Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Dominannya perspektif pusat dalam merumuskan
perundangan tata organisasi daerah terkesan dari minimnya keikutsertaan rakyat
di daerah setidaknya perwakilan mereka melalui organisasi kemasyarakat
non-parlemen, LSM, dan sebagainya di dalam pembahasannya. Kecurigaan akan skenario besar pemerintah pusat di balik lahirnya
perundangan tata organisasi baru menimbulkan berbagai analisis spekulasi akan
kekuatan dan kelemahan perundangan di mata pusat dan daerah. kelemahan bagi
pemerintah pusat terletak pada menipisnya wibawa pusat di daerah karena
kredibilitas dalam menerbitkan perundangan daerah yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah.
program pembangunan tidak jalan sehingga dana
tersimpan di daerah kemudian harus dikembalikan ke pusat, Tentu saja, rakyat
sangat merugi dengan posisinya sebagai “penonton sandiwara” pergantian jabatan
birokrasi yang “menggila” tanpa hasil nyata pada peningkatan kesejahteraan
mereka.
7.
Solusi Menguntungkan Kedua Belah Pihak
Hasil penelitian I Ketut Putra Erawan 59 (2007), staf pengajar ilmu pemerintahan di Universitas Gadjah Mada, tentang penelusuran keberhasilan
4 daerah kabupaten/kota, Bintan, Mataram, Jembrana, dan Bantul, dalam
menjalankan pemerintahan lokal sejak desentralisasi dicanangkan, dapat
disimpulkan penulis bahwa keberhasilan di daerah ditentukan oleh:
Ø pemimpin daerah,
Ø kelompok kepentingan,
Ø investor,
Ø birokrasi melalui program-programnya.
Dengan demikian, penataan organisasi perangkat
daerah dapat berhasil bilamana:
pendekatan fungsi lebih dikedepankan daripada
pendekatan struktur di dalam menata organisasi daerah,
kompetensi SDM birokrasi daerah lebih ditingkatkan
seiring dengan pemenuhan kebutuhan fungsi organisasi,
ada ketegasan penegakan hukum dari pemerintah pusat
bila pemerintah daerah tampak tidak bersungguh-sungguh menjalankan perundangan
baru,
pemerintah pusat tidak melepaskan tangan begitu
saja di dalam pelaksanaan perundangan berkaitan dengan daerah,
birokrasi daerah netral dari kepentingan politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar