Senin, 09 Februari 2015

HUBUNGAN ORGANISASI PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH

TUGAS RESUME DAN POWER POINT POLITIK LOKAL
fisip logo.jpeg
OLEH :
WILDAN DWI K.                          713.1.1.2005
IMAM WAHYUDI                                    713.1.1.2010
SYAMSUL ARIFIN                      713.1.1.2019
JUNIARDHIE INDRA K.                        713.1.1.1985
MOH. RIZQILLAH I.                   714.1.1.2268

SEMESTER III C
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS WIRARAJA SUMENEP
2014 – 2015
BAB 8
HUBUNGAN ORGANISASI PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH

1. Pendahuluan
          Sejurus dengan perubahan iklim global menuju demokratisasi, perhatian terhadap pemerintahan lokalpun lebih banyak dipusatkan kepada upaya mendemokratiskan masyarakat di daerah. Pemerintah lokal dituntut merubah paradigma berpikir dari organisasi tradisional menuju moderen. Perubahan tersebut tidaklah mudah, akan tetapi harus dilakukan mengingat tekanan dunia internasional memaksa pemerintah Indonesia mendesentralisasikan kewenangan pemerintah pusat ke daerah tidak dapat dihindarkan.

2. Dasar Perubahan Organisasi Birokrasi Loka
          Perubahan organisasi di tingkat lokal bergerak seiring perubahan terjadi di tingkat nasional, dimana terjadi pergeseran dari paradigma organisasi lama ke baru. Organisasi moderen memiliki prasyarat terpenuhinya kondisi sumber daya manusia birokrasi di pemerintahan yang mampu merubah mindset mereka dari yang dilayani menjadi pelayan.
          Paradigma lama dalam pengelolaan ataupun manajemen pemerintahan di Indonesia  teori klasik berumur sangat tua, setua peradaban Mesir Kuno, Kerajaan Romawi, dan Kekaisaran Cina. Namun demikian teori yang ada sekarang, merupakan hasil dari pemikiran para ahli dunia Barat tentang manajemen pemerintahan di abad ke-20.

1.   Teori manajemen administratif 52, merupakan teori organisasi klasik dipelopori oleh Mooney dan Reiley. Mereka mengemukakan bahwa organisasi dalam pengertian formal adalah tata tertib, sehingga membutuhkan pengorganisasian dan prosedur ketatatertiban. Tata tertib merupakan landasan organisasi formal.
2.  Teori manajemen administratif 52, merupakan teori organisasi klasik dipelopori oleh Mooney dan Reiley. Mereka mengemukakan bahwa organisasi dalam pengertian formal adalah tata tertib, sehingga membutuhkan pengorganisasian dan prosedur ketatatertiban. Tata tertib merupakan landasan organisasi formal.
      Ciri-ciri organisasi tipe manajemen administratif:
a.      obyektifitas,
b.     rasionalitas,
c.      kepastian,
d.     hirarki,
e.      keahlian.
      Taylor mengemukakan empat prinsip manajemen ilmiah:
a.      melakukan pengembangan manajemen ilmiah yang sebenarnya,
b.     menyeleksi dan melatih pekerja secara ilmiah,
c.      kerjasama atara manajemen dan buruh menyelesaikan tujuan pekerjaan sesuai dengan metode ilmiah,
d.     pembagian tanggung jawab merata antara manajer dan pekerja.     
          Di masa peralihan antara teori klasik dan teori moderen, terdapat teori organisasi neo- klasik dimana kemunculan teori ini diwarnai dengan sentimen ketidakpuasan dari para pekerja akibat penerapan teori organisasi dan manajemen klasik.

Teori neo klasik 53 memiliki dua arus utama:
-       aliran perilaku, tokohnya Mustenberg dan Barnard. Mustenberg menganggap bahwa manusia memiliki kesamaan secara psikologis akan bekerja dengan senang hati jika ada manfaat yang diperoleh dari pekerjaan tersebut dan tidak menemui kendala psikologis dalam pelaksanaan pekerjaan.
-       aliran perilaku dengan pendekatan empiris, pelopor aliran ini adalah Elton Mayo yang terkenal dengan percobaan Hawthorne. Study Mayo mengungkapkan bahwa tingkah laku manusi dalam situasi kerja sangat ditentukan oleh aspek lain seperti situasi kerja, norma kelompok, disamping imbalan ekonomi yang ditawarkan perusahaan semata.
-       aliran kuantitatif, dipelopori oleh Miller dan Starr yang mengemukakan bahwa management science merupakan ilmu keputusan yang dapat diterapkan dengan dihasilkan pemecahan masalah sangat rasional.
Tabel 4. Perbedaan Organisasi Tradisional Dengan Organisasi Moderen

Organisasi Tradisional
Organisasi Moderen

Stabil
Dinamis


Tidak luwes
Luwes


Berfokus pada pekerjaan
Berfokus kepada keahlian
Pekerjaan didefinisikan pada posisi
Pekerjaan
didefinisikan
berdasarkan  tugas

yang harus dilakukan

Berorientasi individu
Berorientasi kelompok kerja
Pekerjaan yang tetap
Pekerjaan sementara

Berorientasi perintah
Berorientasi keterlibatan
Pimpinan unit kerja selalu membuat keputusan
Karyawan berpartisipasi dalam  pengambilan
Keputusan
Berorientasi peraturan
Berorientasi kepada pelanggan
Tenaga kerja yang relatif homogen
Tenaga kerja yang beragam
Hari kerja ditetapkan dari jam 8 sampai 16
Waktu kerja tidak mempunyai batasan waktu
Hubungan hirarki
Hubungan lateral dan jaringan
Bekerja difasilitasi organisasi selama jam kerja
Bekerja dimana saja dan kapan saja
Laporan hasil kerja disampaikan dalam bentuk
Laporan   melalui   informasi   teknologi   e-
tatap muka
government


Sumber: Modul 1, Perumusan Kebijakan Pengembangan Organisasi: Penataan
Organisasi Pemerintah Daerah (Juni 2007), diadaptasi dari Robbins, S.P. and Mary Coulter, Manajemen edisi bahasa Indonesia, Edisi 7, 2004.


3.  Permasalahan  Penerapan  Paradigma  Dalam  Organisasi  Pemerintah Lokal
           Seiring dengan perubahan UU 22/1999 tentang Pemerintah Daerah ke dalam UU 32/2004, arus desentralisasi dari pusat ke daerah semakin tidak terbendung
Permasalahan timbul ketika organisasi pemerintah daerah kota/kabupaten sebagai titik berat otonomi daerah dituntut bekerja keras meningkatkan kapasitas ataupun kemampuan dalam menjalankan otonomi daerah sehingga dapat menyesuaikan dengan perubahan iklim global di abad 21. Kendala-kendala tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh iklim pendahulu yang sangat tidak ingin berubah, pro status quo, dan merasa bahwa organisasi merupakan warisan dari pendahulu tidak perlu ada penambahan maupun pengurangan dari segi kuantitas maupun kualitasnya.

          Parahnya, sikap tidak mau berubah sangat berlawanan dengan konsep organisasi belajar. Sehingga beberapa permasalahan timbul, antara lain:
v  struktur organisasi klasik sangatlah kaku, hirarkis, sangat berorientasi pada pengendalian,
v  gaya interaksi diarahkan pada hubungan-hubungan pemisahan antara atasan-bawahan dengan aspek kepatuhan dan ketaatan pada perintah,
v  iklim lingkungan organisasi pemerintah daerah masih kurang kondusif,
v  organisasi pemerintah daerah masih belum mampu melakukan reformasi menyangkut aturan kepegawaian.
Kendala-kendala menyelimuti SDM di daerah meliputi:
Ø  pengembangan SDM aparatur sekedar formalitas,
Ø  kesalahan melakukan rekrutmen pegawai berlanjut sampai ketidakkompetenan melakukan pekerjaan,
Ø  kekurangseriusan dalam meningkatkan pendidikan dan pengetahuan pegawai ke jenjang lebih tinggi,
Ø  latar belakang pendidikan pegawai masih rendah,
Ø  individu aparatur yang tidak memiliki budaya belajar,
Ø  keberadaan tim atau unit yang berseberangan dengan individu yang tidak mau berubah,
Ø  individu menduduki jabatan memerintah dengan gaya tradisional, otoriter atau semi-otoriter. 57
Beberapa tawaran dapat disampaikan dalam merubah paradigma tradisional (lama) ke paradigma moderan (baru) dengan menumbuhkan semangan learning organization, antara lain adalah:
1.      perlu dilakukan penataan atau transformasi organisasi secara kontinyu dan konsisten,
2.     proses pengambilan keputusan diupayakan melibatkan pegawai,
3.     memberdayakan insentif untuk memotivasi pegawai,
4.     untuk jangka panjang perlu menyempurnakan manajemen perekrutan PNS di lingkungan Pemda bebas KKN,

5.     reformasi penyelenggaraan Diklat PNS yang hanya sebatas penyelenggara bukan berorientasi pada peningkatan Skill, Knowledge, and Attitude SDM aparatur. 58
          Dengan demikian lingkungan amatlah mempengaruhi kinerja dan organisasi Pemda.
Organisasi birokrasi Pemda yang mau belajar akan mempermudah dirinya menyesuaikan terhadap perubahan.

4.  Kebijakan Penataan Organisasi Pemerintah Daerah
          Seiring dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 (PP 41/2007) mengganti peraturan sebelumnya Nomor 8 Tahun 2003 (PP 8/2003) tentang Organisasi Perangkat Daerah, seluruh daerah mulai dari provinsi, kabupaten, dan kota berbenah diri. Aturan baru tersebut paling banyak mengatur tata pemerintahan daerah. Pada 2007 saja, pemerintah berhasil meloloskan 45 UU dan 81 PP. Lalu Depdagri mengeluarkan 79 kepmendagri yang terkait langsung dengan pemerintah daerah.           Terutama fokus tulisan akan menganalisis bagaimana lahirnya peraturan mengenai organisasi perangkat daerah yang tidak lama berselang antara satu dengan lainnya membuat daerah bersikap apatis terhadap pusat.

5.  Tumpang Tindih Peraturan Tata Organisasi Pemerintah Daerah
Lahirnya PP 41/2007 menggantikan PP 8/2003 tidak menjadikan PP baru lebih mudah diimplementasikan dari yang lama. PP baru lahir di tengah kondisi internal Departemen Dalam Negeri masih didera kegalauan di tengah ketidakpastian kepemimpinan puncak, M. Ma’ruf, yang terbaring sakit. Pembahasan PP 41/2007 terkesan sangat terburu-buru sehingga gagal membuat perundangan yang komprehensif, detail, dan memenuhi aspirasi daerah. Kondisi tidak produktif bagi daerah tersebut akhirnya memaksa pemerintah pusat mengambil kebijakan baru berupa PP 41/2007 yang juga mendapatkan tantangan di daerah.Padahal turunan perundangan sebelumnya yaitu Permendagri 24/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu mewajibkan daerah membentuk lembaga yang lebih dari sekedar gabungan perangkat daerah yang mengurus
Perijinan  yang  dikoordinir  oleh  sekretariat sebagai bagian perangkat daerah.    Ketidakseriusan pemerintah pusat dalam mendesain peraturan terlihat dari pemaksaan kepentingan pusat di daerah bukan fokus pada daerahnya sendiri. Belum lagi mekanisme pendampingan pemerintah pusat di daerah selepas peraturan terbit boleh  
dibilang tidak ada sehingga pemerintah daerah menginterpretasikan peraturan “seenak perutnya” saja.

6. Dampak Perundangan Organisasi Perangkat Daerah Bagi Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
          Dominannya perspektif pusat dalam merumuskan perundangan tata organisasi daerah terkesan dari minimnya keikutsertaan rakyat di daerah setidaknya perwakilan mereka melalui organisasi kemasyarakat non-parlemen, LSM, dan sebagainya di dalam pembahasannya. Kecurigaan akan skenario besar pemerintah pusat di balik lahirnya perundangan tata organisasi baru menimbulkan berbagai analisis spekulasi akan kekuatan dan kelemahan perundangan di mata pusat dan daerah. kelemahan bagi pemerintah pusat terletak pada menipisnya wibawa pusat di daerah karena kredibilitas dalam menerbitkan perundangan daerah yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah.
          program pembangunan tidak jalan sehingga dana tersimpan di daerah kemudian harus dikembalikan ke pusat, Tentu saja, rakyat sangat merugi dengan posisinya sebagai “penonton sandiwara” pergantian jabatan birokrasi yang “menggila” tanpa hasil nyata pada peningkatan kesejahteraan mereka.
7. Solusi Menguntungkan Kedua Belah Pihak
          Hasil penelitian I Ketut Putra Erawan 59 (2007), staf pengajar ilmu pemerintahan di Universitas Gadjah Mada, tentang penelusuran keberhasilan 4 daerah kabupaten/kota, Bintan, Mataram, Jembrana, dan Bantul, dalam menjalankan pemerintahan lokal sejak desentralisasi dicanangkan, dapat disimpulkan penulis bahwa keberhasilan di daerah ditentukan oleh:
Ø  pemimpin daerah,
Ø  kelompok kepentingan,
Ø  investor,
Ø  birokrasi melalui program-programnya.
          Dengan demikian, penataan organisasi perangkat daerah dapat berhasil bilamana:
*  pendekatan fungsi lebih dikedepankan daripada pendekatan struktur di dalam menata organisasi daerah,
*  kompetensi SDM birokrasi daerah lebih ditingkatkan seiring dengan pemenuhan kebutuhan fungsi organisasi,
*  ada ketegasan penegakan hukum dari pemerintah pusat bila pemerintah daerah tampak tidak bersungguh-sungguh menjalankan perundangan baru,
*  pemerintah pusat tidak melepaskan tangan begitu saja di dalam pelaksanaan perundangan berkaitan dengan daerah,

*  birokrasi daerah netral dari kepentingan politik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system