OLEH :
MOHAMMAD NAWAWI
712.1.1.1830
SUWANDI ADI PRAYUGO
712.1.1.1840
KHOTIBUL UMAM 712.1.1.1824
ANANG FADLILAH
712.1.1.1809
ALFAJARIAH 712.1.1.1808
SEMESTER III & V –
C
FAKULTAS ILMU SOSIAL
DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS WIRARAJA
SUMENEP
2014 – 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas
rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Sejarah dan Masa Depan Dinamika Politik
Lokal di Indonesia”.
Penulisan makalah merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam
mata kuliah Politik Lokal
FISIP Universitas Wiraraja Sumenep. Dalam
Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang penulis miliki. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan
makalah ini, khususnya kepada :
1.
Ibu
Retno yang sudah memberikan tugas
dan petunjuk kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
ini.
2.
Teman-teman
yang sudah membantu
3.
Rekan-rekan
semua di Kelas 3
& 5 - C FISIP Universitas Wiraraja Sumenep.
4.
Secara
khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah
memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis
dalam menyelesaikan makalah ini
5.
Semua pihak
yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam
penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang
setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua
bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Sumenep , November 2014
Tim Penulis
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut paham
demokrasi dan system Desentralisasi. Dinamika desentralisasi dari waktu ke
waktu melahirkan otonomi daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia.
Sejalan
dengan itu, tujuan utama yang ingin dicapai melalui penerapan kebijakan
desentralisasi yaitu tujuan demokrasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan
demokrasi akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen pendidikan politik
di tingkat lokal yang akan menyumbang terhadap pendidikan politik secara
nasional sebagai landasan utama dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa
dan negara serta mempercepat terwujudnya masyarakat madani. Tujuan
kesejahteraan mengisyaratkan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien dan
ekonomis.
Perjalanan desentralisasi di Indonesia menimbulkan
banyak dinamika politik local di Indonesia, Makalah ini akan membahas kehidupan atau
sistem politik lokal di Indonesia yang mengacu pada perbandingan antar masa, perbandingan
politik lokal masa orde lama, dan politik lokal masa reformasi.
1.2
Case Study
Keadaan Politik Lokal pada masa Orde Baru
Sudah sejak dulu ABRI memiliki peranan tersendiri
dalam bidang politik dan juga strategi dalam pemerintahan. Hal tersebut bisa
dilihat dari banyaknya pejabat militer yang menduduki posisi-posisi penting
dalam pemerintahan di masa orde baru.
Berbeda dengan pemilihan yang berlangsung
saat ini, di masa orde baru pilkada gubernur dan wakilnya yang dilaksanakan di
DPRD dicalonkan dan dipilih berdasarkan skenario yang dikendalikan oleh kekuatan rezim yang berkuasa melalui tiga jalur yang
terdiri dari Abri, Birokrat, dan Golkar. Kriteria tidak tertulisnya antara lain
adalah cakap, loyal, dapat menjaga stabilitas, dan lain sebagainya.
Dibawah ini adalah contoh dari
orang- orang yang memegang kekuasaan dalam pemerintahan dengan latar belakang
militer yaitu :
a.
Azwar Anas Datuak Rajo Sulaiman
-
Gubernur Sumatera Barat selama dua periode (1977-
1987)
-
Menteri Perhubungan Indonesia pada Kabinet Pembangunan
V (1988- 1993)
-
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada Kabinet
Pembangunan VI (1993- 1998)
b.
Bustanil Arifin : Pernah menjabat Kepala Badan Urusan
Logistik (Bulog) dan Menteri Koperasi Indonesia.
c.
Dr. Tarmizi Taher : Menteri Agama Indonesia periode
1993- 1998
d.
Mayjen TNI (Purn) Widya Latief :Juru bicara kepresidenan pada masa awal
pemerintahan Soeharto
Keadaan Politik Lokal pada masa Reformasi
Masa reformasi dimulai sejak runtuhnya
kerajaan orde baru. Hal yang menandai mulainya masa ini adalah diadakannya
secara serentak diseluruh Indonesia Pemilihan Kepala Daerah atau biasa
disingkat dengan kata PILKADA pada tanggal 7 Juni 1999. Sistem Pemilu yang
dipakai pada saat itu adalah sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan
stelsel daftar. Sistem ini pernah dipakai oleh Indonesia pada PILKADA tahun
1997. Pada
bagian ini kelompok kami akan memaparkan beberapa masalah yang terjadi pada
pemilu 1999.
Tidak Bertanggungjawabnya KPU
Pemilu yang diikuti oleh 48 partai ini adalah
pemilu yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pada
akhirnya, yang kemudian berhasil masuk DPR berjumlah 21 partai. Landasan
hukumnya adalah UU No. 2 tahun 1999. Namun pada pemilu ini, masalah terjadi
saat KPU (Komisi Pemilihan Umum) diminta menandatangani hasil suara rakyat.
Mereka berdalih bahwa hasil suara tidak sah karena terjadi banyak pelanggaran.
Memang, banyak pelanggaran yang terjadi saat pemilu namun hal ini masih dapat
ditolelir terbukti dimana pada tingkat daerah, hasil suara ini telah
ditandatangani oleh wakil-wakil partai. Ini berarti, pemilu telah berlangsung
dengan sesuai prosedur.
Presiden Habibie yang saat itu menjabat
diminta oleh Panwas Pemilu Pusat untuk ikut campur tangan dalam penyelesaian
masalah ini, dengan dasar hukum Pasal 8 ayat (1) UU No. 3/1999, yang
berbunyi bahwa “Penanggung jawab Pemilihan Umum adalah Presiden".
Keputusan ini memang terlihat seperti pelanggaran dimana presiden
mengintervensi KPU, namun karena masalah ini memang sepenuhnya merupakan
kecurangan dari anggota KPU yang tak bertanggung jawab, tidak terdapat ada penolakan terhadap keputusan
ini dimana
publik pun diam saja tanda setuju terhadap keputusan yang diambil oleh Presiden
Habibie.
1.3
Rumusan Masalah
Untuk
mengkaji dan mengulas tentang Sejarah
dan Masa Depan Dinamika Politik Lokal di Indonesia,
maka diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis
membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
Dinamika Politik Lokal Di Indonesia ?
2.
Bagaimana Perjalanan Desentralisasi di Indonesia ?
1.4
Tujuan dan Manfaat
Tujuan
disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Politik Lokal FISIP
dan menjawab pertanyaan yang ada pada rumusan masalah.
Manfaat dari
penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan penulis dan pembaca
tentang Sejarah dan Masa Depan Dinamika Politik Lokal di
Indonesia dan untuk membuat kita lebih memahami Politik Lokal di daerah.
1.5
Sistematika
Penulisan
Makalah
ini disusun menjadi tiga bab, yaitu bab pendahuluan, bab pembahasan, dan bab
penutup. Adapun bab pendahuluan terbagi atas : latar belakang, case study, rumusan makalah,
tujuan dan manfaat penulisan, dan sistematika penulisan. Sedangkan bab pembahasan
dibagi berdasarkan subbab yang berkaitan dengan Sejarah dan masa depan dinamika politik local di indonesia.
Terakhir, bab penutup terdiri atas kesimpulan dan saran.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sejarah,
Politik, dan Politik Lokal.
Sejarah
ialah sebagai masa lampau manusia dan persekitarannya yang disusun secara
ilmiah dan lengkap meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan
penjelasan yang memberi pengertian dan kefahaman tentang apa yang berlaku .
Sedangkan usaha untuk mencapai kekuasaan dan membawa tujuan untuk masyarakatnya
adalah suatu politik . Berdasarka pengertian diatas, maka dapat disimpulkan
sejarah politik merupakan peristiwa masa lampau mengenai peristiwa yang
berkaitan dengan usaha serta kebijakan untuk kemaslahatan masyarakat banak
dalam suatu wilayah.
Politik lokal secara sederhana
dapat didefinisikan sebagai semua kegiatan politik yang berada pada level
lokal. Seperti halnya
pemerintahan lokal, pembentukan kebijakan daerah, maupun pemilihan kepala
daerah.
2.2 Dinamika Politik Lokal Masa
Penjajahan Kolonial Belanda
Di
awal masa penjajahan sebelum tahun 1903, pemerintah kolonial Belanda menerapkan
aturan hukum berupa Reglement op het
Beleid der Regering van Nederlandsch Indie (Stb 1855/2) yang sangat
konservatif. Aturan tersebut menjelaskan
tentang sentralisasi kekuasaan di Hindia Belanda bukan sebaliknya. Di samping
menjalankan sentralisasi, dekonsentrasi memberikan kekuasaan kepada
wilayah-wilayah administratif secara hirarkhis, namun hanya terbatas di pulau
Jawa saja..
Ciri
dari sistem pemerintah kolonial sebelum kemerdekaan adalah sebagai berikut:
1.
pemerintahan tidak
langsung,
2.
pemberlakukan aturan double standart, hukum eropa
konservatif bagi elit Eropa dan hukum adat bagi pribumi,
3.
berkembangnya elit
pribumi berdasarkan garis keturunan kerajaan sebagai waki pemerintah kolonial
di luar pulau Jawa,
4.
isolasi gerakan
nasionalis,
5.
pengendalian ketat
daerah-daerah pedesaan dan daerah luar Jawa oleh elit pribumi tradisional patuh
pada kekuasaan kolonial.
2.3 Dinamika Politik Lokal Masa
Penjajahan Kolonial Jepang
Pada
masa pendudukan kolonial Jepang, daerah bekas jajahan Belanda terbagi menjadi
tiga komando, yaitu:
1.
Sumatera di
bawah Komando Panglima
Angkatan Darat XXV di
Bukittinggi;
2.
Jawa dan Madura di
bawah Komando Panglima Angkatan Darat XVI di Jakarta;
3.
Daerah lain di bawah
Komando Panglima Angkatan Laut di Makassar.
2.4 Dinamika Politik Lokal Masa Kemerdekaan 1945
Setelah
Indonesia mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1945, Belanda yang terusir dari
bumi Hindia Belanda karena kekalahannya melawan Jepang berusaha merebut kembali
kekuasaannya di Indonesia. Segala dalih politikpun direncanakan demi merebut
ambisi menduduki kembali bumi Indonesia, Politik Belanda saat itu adalah
merumuskan Indonesia ke dalam negara-negara bagian sehingga terciptalah bentuk
negara Federasi yang bernama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Menurut
Nasution, ada 2 alasan kegagalan RIS yang memiliki 17 negara bagian yaitu:
1.
Indonesia merasa
dikhianati oleh Gubernur Jenderal Belanda Van Mook, karena pendirian negara
miniatur di luar federasi: Pasundan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Sumatera
Barat, Sumatera Selatan, Riau, Bangka, Belitung, di luar kesepakatan antara
pemerintah Indonesia dan Belanda, dan
2.
Tulisan Dr. Anak Agung
Gde Agung, tokoh pemimpin dari wilayah Timur Indonesia, berisikan mengenai tiga
setengah tahun pelaksanaan federalisme di wilayah Timur Indonesia ternyata
gagal memberikan hasil memuaskan.
2.5 Dinamika Politik Lokal Masa Demokrasi Parlementer
Pada
masa demokrasi parlementer (1950-1959), lahirlah Undang-undang Nomor 1/1957
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah 1956, dengan alasan:
1.
bahwa berhubung dengan
perkembangan ketatanegaraan maka undang-undang pokok Pemerintahan Daerah yang
berhak mengurus rumah tangganya sendiri, perlu diperbaharui sesuai dengan
bentuk Negara Kesatuan;
2.
bahwa pembaharuan itu
perlu dilakukan dalam suatu Undang-undang yang berlaku untuk seluruh Indonesia.
Pada akhirnya negara kesatuan
disepakati sebagai pilihan dengan beberapa persyaratan, seperti:
1.
penegakan demokrasi
lebih berguna untuk meredam ketidakpuasan di berbagai daerah, melawan
ketidakadilan, dan menghindari sentralisasi yang tidak seimbang, dan
2.wilayah-wilayah
sedapatnya akan diberikan otonomi seluas-luasnya.
2.6 Dinamika Politik Lokal Masa Demokrasi Terpimpin
Selepas
Dekrit Presiden di tahun 1959 diberlakukan, pemerintahanpun semakin mengarah
pada demokrasi terpimpin. Pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor
6/1959 (disempurnakan) dan Penetapan Presiden Nomor 6/1959 (disempurnakan)
mengatur tentang Pemerintahan Daerah. Dasar pemikiran undang-undang
pemerintahan daerah adalah:
1.
tetap mempertahankan
politik dekonsentrasi dan desentralisasi, dengan menjunjung paham
desentralisasi teritorial;
2.
dihapuskan dualisme
pimpinan daerah.
Perkembangan
selanjutnya tentang pemerintahan daerah adalah terbitnya Undang-undang Nomor
18/1965 yang membagi habis daerah-daerah otonom di Indonesia ke dalam tiga
tingkatan:
2.
Kabupaten dan/atau
Kotamadya sebagai Daerah Tingkat II;
3.
Kecamatan dan/atau
Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III.
The
Liang Gie mengungkapkan beberapa kelemahan Undang-undang No. 18/1965 tersebut,
antara lain:
1.
politik desentralisasi
masih mengandung apa yang disebut oleh Prof. John D. Legee sebagai colonial flavor (berbau kolonial),
karena pemerintah pusat masih keras menunjukan keinginan dan berusaha
menancapkan serta memelihara kekuasaanna di lingkungan segenap wilayah
bawahannya;
2.
Undang-undang No.
18/1965 masih meneruskan memakai istilah ”rumah tangga” daerah dari masa lampau
yang sangat kabur pemakaiannya;
3.
Masih menggunakan
istilah ”pemerintahan sehari-hari” yang tidak tegas pemaknaannya;
4.
Menganut citra
ketunggalan dan keseragaman, artinya penyelenggaraan desentralisasi di
Indonesia hanya diatur dengan satu peraturan saja dan isinya tidak memiliki
pemahaman akan arti keberagaman tiap daerah; dan lainnya.
2.7 Dinamika Politik Lokal Masa Orde Baru
Pada
masa pemerintahan Orde Baru, lahirlah Undang-undang Nomor 5/1974 dimana
semangat sentralisasi pemerintahan justru semakin menjadi-jadi. Di
dalam masa kekuasaan Order Baru, etnis cina Indonesia memperoleh perlakuan
khusus, sehingga jurang ekonomi antara masyarakat keturuna etnis Cina dengan
kaum pribumi menjadi sangat tajam. Lebih jauh lagi, masa pemerintahan Soeharto
memunculkan model pembangunan daerah yang timpang antara masyarakat di belahan Indonesia
bagian Barat (Jawa dan Sumatra) yang kaya dengan masyarakat di Indonesia bagian
Timur yang melarat dan kelaparan (Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur sebelum
menjadi negara Timor Lester, dan Papua). Ketimpangan tersebut menjadikan
pembangunan tidak merata di daerah pedesaan dan kemiskinan di daerah perkotaan,
meningkatkan jumlah penduduk perkotaan sangat pesat.
2.8 Dinamika Politik Lokal Masa
Pasca Orde Baru
Langkah-langkah
strategis Presiden Habibie saat itu memberikan kebebasan pers, kebebasan mendirikan
partai-partai politik, pemilu bebas, dan pemberian referendum bagi masyarakat
Timor Timur yang berujung lepasnya provinsi termuda Indonesia tersebut menjadi
merdeka sepenuhnya. Dengan demikian UU Nomor 22/1999 telah memberikan
dasar-dasar pemerintahan desentralisasi administratif yang sangat banyak
kelemahannya.
Di
masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, masalah desentralisasi semakin
mencuat ke permukaan dengan bantuan liputan berbagai media. Masalah-masalah
seperti korupsi, kepala daerah yang memainkan politik uang ketimbang
melaksanakan janji pada konstituennya, kemudian wakil rakyat yang hanya
mementingkan ‘perut’ sendiri, memaksa pemerintahannya melahirkan undang-undang ‘penangkal’ baru, yaitu Undang-undang Nomor 32/2004 dan
33/2004, masing-masing tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah. Menurut Malley (2004), pemerintahan Megawati bukanlah
mengamandemen undang-undang yang ada, tetapi malah menggantinya sama sekali.
Sekalipun demikian, perubahan tidak banyak memunculkan gejolak berarti, bahkan
terbilang tidak mengalami hambatan berarti karena pemilu Bupati pertama di
bulan juni 2005 berlangsung lancar. Pilkada memilih pemimpin daerah secara
langsung bukan simbol-simbol partai seperti masa lalu mendorong masyarakat secara
aktif berpartisipasi dalam kampanye dan datang berduyun-duyun mencoblos calon
pilihannnya di bilik-bilik pemilihan.
Masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono diwarnai dengan kebijakan-kebijakan
desentralisasi bernama pemekaran. Pemekaran adalah nama yang dipergunakan dalam
proses desentralisasi yang menciptakan unit-unit administratif baru di dalam
provinsi-provinsi dan distrik-distrik yang telah ada sebelumnya.
2.9 Perjalanan Desentralisasi sebagai landasan politik lokal di
Indonesia
Sistem
Pemerintahan Daerah Sebelum Kemerdekaan
: Pemerintah Daerah yang relatif otonom pertama kali
didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda melalui Desentralisatie Wet Tahun
1903. Undang-undang ini hanya mencakup wilayah Jawa dan Madura saja. Sebelum
Tahun 1903, seluruh wilayah Hindia Belanda diperintah secara sentral di bawah
Gubernur Jenderal sebagai Wakil Raja Belanda di tanah jajahan. Disamping itu,
terdapat juga daerah-daerah yang disebut ‘Swapraja’ yang diperintah oleh
raja-raja pribumi setempat. Raja-raja tersebut memerintah berdasarkan kontrak
politik yang ditandatangani dengan wakil Pemerintah Belanda dan diberikan tugas
untuk menjalankan beberapa tugas atas nama pemerintah kolonial.
Sistem
Pemerintahan Daerah Paska Kemerdekaan
:Sistem pemerintahan daerah di Indonesia paska
proklamasi ditandai dengan diberlakukannya berbagai peraturan perudang-undangan
tentang pemerintahan daerah. Setiap undang-undang yang diberlakukan pada suatu
kurun waktu tertentu menandai terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan
daerah, yang mana hal ini sangat erat kaitannya dengan situasi politik
nasional.
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1945 : Diterbitkan
23 Nopember 1945 dan merupakan undang-undang Pemerintahan Daerah yang pertama
setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut didasarkan pasal 18 UUD 1945.
Sistem pemerintahan daerah berdasarkan undang-undang tersebut adalah
dibentuknya Komite Nasional Daerah pada setiap tingkatan daerah otonom
terkecuali di tingkat provinsi.
Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1948 : UU
No. 22 Tahun 1948 dikeluarkan 10 Juli 1948, dimaksudkan sebagai pengganti UU
Nomor 1 Tahun 1945 yang dianggap tidak sesuai dengan semangat kebebasan. UU 22
Tahun 1948 hanya mengatur tentang daerah otonom dan sama sekali tidak
menyinggung daerah administratif. Undang-undang tersebut hanya mengakui 3
tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi, kabupaten atau kotamadya dan desa atau
kota kecil. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah
(DPD). Kepala Daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala Daerah diangkat oleh
Pemerintah dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD.
Undang-undang
Nomor 1 tahun 1957 : UU
1 Tahun 1957 ditandai dengan penekanan lebih jauh lagi ke arah desentralisasi.
UU No. 1 Tahun 1957 adalah produk sistem parlementer liberal hasil Pemilihan
Umum pertama tahun 1955, di mana partai-partai politik menuntut adanya
Pemerintah Daerah yang demokratik.
Penetapan
Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959
: Tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari
Dekrit Presiden, Pemerintah mengeluarkan Penpres 6 tahun 1959 untuk mengatur
Pemerintah Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur
bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala daerah
mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutif daerah dan wakil Pusat di daerah.
Kepala Daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah, dia
bertanggungjawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh DPRD. Sedangkan
sebagai wakil Pusat dia bertanggungjawab kepada Pemerintah Pusat.
Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1965 : Kebijakan
pada UU No. 18 Tahun 1965 merupakan arus balik dari kecenderungan sentralisasi
menuju desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan yang diberikan kepada
Kepala daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik tertentu. Dengan
demikian, kesetiaan atau loyalitas eksekutif daerah tidak lagi hanya kepada
Pemerintah Pusat.
Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 : Era
demokratisasi terpimpin telah berakhir dan diganti oleh era pemerintahan Orde
Baru. Dalam pengaturan pemerintahan daerah, UU 18 Tahun 1965 diganti dengan UU
No. 5 Tahun 1974. Ada tiga prinsip dasar yang dianut oleh UU No. 5 Tahun
1974, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prakteknya,
prinsip dekonsentrasi lebih dominan. Struktur pemerintahan daerah terdiri dari
kepala Daerah Otonom dan sebagai Kepala Wilayah (yaitu Wakil Pemerintah di
Daerah).
Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 : UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimaksudkan untuk mengoreksi UU
5 Tahun 1974 yang dirasa sentralistik menjadi desentralistik dan
mendekatkan pelayanan masyarakat menjadi pelayanan local, serta meningkatkan
pendidikan politik masyarakat. Prinsif otonomi seluas-luasnya menjiwai hampir
di semua pasal. Bahkan manajemen kepegawaian dan keuangan yang di UU
pendahulunya diatur dengan ketat oleh Pusat didelegasikan secara penuh kepada
Daerah.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 : Pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memasuki babak baru dengan
terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satunya adalah
desentralisasi dan dekonsentrasi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat
kontinum bukan bersifat dikotomis.
Orientasi
pelayanan masyarakat, dicerminkan dalam pembagian urusan antar tingkat
pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan dalam konteks desentralisasi
merupakan penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada daerah otonom. Aspek penting lainnya adalah
aspek demokratisasi yang diukur dari unsur keterlibatan masyarakat dalam
menentukan pejabat publik di daerah.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Dinamika politik local di Indonesia mengalami perjalanan yang sangat
panjang , sejak masa sebelum kemerdekaan , masa kemerdekaan, masa pasca
kemerdekaan, masa demokrasi parlementer, masa orde lama, orde baru, sampai
sekarang era reformasi. Politik local tersebut memunculkan desentralisasi di
daerah. Dan antar masa , ada saja kesalahan – kesalahan yang berbeda dari
desentralisasi yang dilakukan oleh pemreritah daerah.
Perjalanan desentralisasi di Indonesia juga panjang,
perbaikan terus dilakukan sehingga menyebabkan dinamika desentralisasi. Berawal
dari Sistem Pemerintahan Daerah
Sebelum Kemerdekaan , Sistem Pemerintahan Daerah Paska Kemerdekaan . Juga undang undang yang berlaku sepperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 ,Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 , Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 , Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 , Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 , Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 , dan yang
terakhir kita pakaia sekarang ini Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
3.2
SARAN
Berdasarkan permasalahan atas perjalanan dinamika
politik local dan desentralisasi dari masa ke masa, maka kami memberikan sebuah
saran atas permasalahan tersebut yakni, untuk meminimalisir terjadinya
perubahan dinamika kembali di masa depan akibat kesalahan – kesalahan yan kerap
muncul dari desentralisasi sebaiknya pemerintah pusat lebih menjaga hubungan
kepada pemerintah daerah dengan tidak membuat kebijakan yang merugikan daerah
agar tidak ada lagi daerah yang ingin melepaskan diri atau merdeka, atau daerah
yang menjadi korban dari pemerintah pusat yang menyebabkan perubahan undang –
undang atau perubahan system kembali.
Makasih ya infonya dapat menambah pengetahuan kita semuanya
BalasHapusKhasiat daun alami
hay, nama saya try, salam kenal,.
BalasHapustrimakasih sudah berbagi ilmu,.. artikelnya sangat bermanfaat..
kalau ada waktu jangan lupa mampir di Tugas dan Materi Kuliah. Saya juga punya pembahasan mengenai politik., kalau berminat silahkan lihat Makalah Politik Pendidikan . siapa tahu bisa bermanfaat.