OLEH KELOMPOK :
WAWAN JAMAN DARI (712.1.1.1844)
DEWI KARTIKA (712.1.1.1813 )
YAYUK SRI WAHYUNI (712.1.1.1845
)
MIRI WARIS WATI FITRIYANI (712.1.1.1825
)
MISNAWI (712.1.1.18 )
UNIVERSITAS
WIRARAJA
SUMENEP
2014-2015
OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF DEMOKRATISASI LOKAL
1. LATAR BELAKANG
Otonomi daerah sesungguhnya bertujuan
mendekatkan rakyat terhadap pemerintahnya. Kedekatan pemerintah dengan rakyat
berdampak positif terhadap meningkatnya pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat
yang selama ini terabaikan karena sentralisasi kekuasaan.Namun sungguh
disayangkan karena demokratisasi lokal tidak sepenuhnya terlaksana seiring
dengan tumbuh pesatnya otonomi daerah. Bahkan indikasi dari peristiwa pilkada
sebagai perwujudan kasat mata demokrasi lokal yang berlangsung sepanjang April
sampai dengan September 2008, banyak pilkada berakhir tanpa makna berarti bagi
rakyat bahkan menimbulkan kerugian semata.
Keterbatasan peran masyarakat dalam
dinamika politik lokal tampak dari
proses pemilihan para pejabat publik (anggota legislatif maupun kepala
daerah) pemilihan anggota DPRD berlangsung dalam sistem proporsional di mana
para calon di tentukan oleh dewan pimpinan partai sementara proses pemilihan
kepala daerah di dominasi oleh peran DPRD. Dalam kedua proses politik ini saja
sudah terindiksi sempitnya ruang publik bagi partisipasi masyarakat padahal
desentralisasi juga mengandung dimensi politik yang mensyarakat adanya
keterlibatan rakyat dalam seluruh proses pemerintah.
Secara
teoritis terdapat relevansi antara partispasi langsung dengan demokrasi namun
demikan asumsi ini tidak dapat langsung menjustifikasi bahwa mekanisme
pemilihan kepala daerah secara langung
berkolerasi langsung dengan demokrasi di tingkat politik pada praktinya
penerapan desentralisasi dan otonomi daerah melibatkam berbagai dimensi seperti
ketersediaan peraturan perundang undangan sebagai penjabaran dan peraturan
perundang undangan sebagai penjabaran dan pengaturan lebih lanjut UU No. 22
tahun 1999 kapasitas kelembagaan dan berkualitas personel yang memadai. Oleh
karena itu masih perlu kajian yang lebih mendalam dalam komprehensif mengenai
relevansi pemilihan kepala daerah secara langsung dengan penguatan demokratis
di tingkat lokal.
2.
CASE
STUDY
Pemilu
kepala daerah Langsung dan Tidak langsung
Sebelum tahun 2005,
kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD,sejak berlakunya UU
nomor 32 tahun 2004 tentang kepala daerah, kepala daerah dpilih secara langsung
oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah atau
disingkat PILKADA, Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan juni 2005.
Sejak
berlakunya UU nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggar pemilu umum, pilkada
dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmibernama pemilihan umum
kepala daerah dan wakil kepala daerah atau disingkat pemilu Pilkada. Pemilihan
kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan UU ini adalah Pilkada
DKI Jakarta 2007.
Pada
tahun 2011, terbit UU baru mengenai peneyelenggara pemilihan umum yaitu UU
nomor 15 tahun 2011. Di dalam UU ini,
istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati dan wali kota. Pada
tahun 2014, DPR RI kembali mengangkat isu krusial terkait pemelihan kepala
daerah secara langsung. Sidang paripurna DPR RI pada tanggal 24 september 2014
memutuskan bahwa pemilihan kepala daerah dikembalikan secara tidak
langsung,atau kembali dipilih oleh DPRD. Putusan pemilihan kepala daerah tidak
langsung didukung oleh 226 anggota DPR RI.Keputusan ini telah menyebabkan
beberapa pihak kecewa,keputusan ini dinilai sebagai langkah mundur, di bidang
pembangunan demokrasi,sehingga masih dicarikan cara untuk menggagalkannya
keputusan itu melalui uji materi ke MK.bagi sebagian pihak yang lain Pemilukada
tidak langsung atau langsung dinilai sama saja.
3. RUMUSAN
MASALAH
Ø Apa
saja aspek-aspek yang harus memenuhi demokrasi lokal ?
Ø Apa
kelemahan dari relevansi mekanisme pemilihan kepala daerah dengan demokrasi
lokal ?
4. PEMBAHASAN/PENJELASAN
Demokrasi lahir dari bangsa Yunani kuno yang
mengedepankan gaya pemerintahan berdasarkan suara rakyat. Kata demokrasi
berasal dari dua suku kata yaitu demos yang berarti rakyat dan –kratein
yang berarti memerintah. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa demokrasi adalah
rakyat memerintah atau pemerintahan yang sering sekali dikatakan sebagai dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.Namun demikian, demokrasi
tersebut cenderung mengarah padasistem pemerintahan agresif dan tidak stabil
cenderung mengarah pada tirani.Plato kemungkinan besar berpendapat bahwa
demokrasi melahirkan pemimpin dan yang dipimpin dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat merupakan suatu impian belaka. Karena pada kenyataannya demokrasi
hanya melahirkan segelintir orang mengatasnamakan seluruh
rakyat. Legitimasi memerintah atas nama orang banyak tersebut ternyata akan
melahirkan bentuk pemerintahan tirani ketimbang demokratis.
Dalam Capitalism, Socialism, and Democracy,
Schumpeter mengatakan kekurangan teori demokrasi klasik tersebut yang selalu
menghubungkan antara kehendak rakyat (the will of the people) dan sumber
serta bertujuan demi kebaikan bersama (the common good). Schumpeter
kemudian mengusulkan.
“Teori
lain mengenai demokrasi” atau “metode demokrasi” memaknai demokrasi dari sudut
prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yand di dalamnya setiap
individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan
kompetititf dalam rangka memperoleh dukungan berupa suara rakyat. Demokrasi
pada taraf metode tidak melibatkan unsur emosi lagi, akan tetapi lebih
menekankan pada akal sehat.
Konsep
demokrasi telah mengalami perkembangan sejak definisi empirik Schumpeter
dikemukakan, perdebatan akademis seputar demokrasi melahirkan definisi konsep
paling beragam dalam ranah akademis.
Amerika
Serikat yang memiliki agenda utama dalam mempromosikan demokrasi dalam
kebijakan luar negerinyapun ternyata belum memiliki kesepakatan tentang makna demokrasi.Karena itulah demokrasi masih menimbulkan
perdebatan terutama dalam penerapannya di negara-negara berkembang.
Definisi
demokrasi lainnya seperti dikemukakan oleh Ebenstein (1967) bercirikan:
a. empirisme
rasional,
b. individu-oriented,
c. negara
sebagai alat,
d. kesukarelaan,
e. hukum
di atas hukum,
f. cara,
g. persetujuan,
h. persamaan.
Sedangkan
Robert Dahl, seperti dikutip oleh Samuel Huntington (1997) mengungkapkan bahwa
demokrasi tidak boleh melibatkan unsur emosi akan tetapi menggunakan akal
sehat. Pemikiran Dahl terhadap demokrasi menandai bergulirnya babak baru
pemikiran tentang demokrasi. Pengertian demokrasi di berbagai belahan dunia
merujuk pada penegakkan demokrasi di Amerika Serikat mengalami distorsi makna
karena dapat dipertukarkan dengan pengertian sangat sempit, semisal voting atau
pemilihan umum semata. Padahal demokrasi sebagai suatu konsep
memiliki pengertian lebih luas. Pencitraan demokrasi di AS sedemikian absurd-nya,
sehingga dikatakan bahwa demokrasi merupakan instrumen penekan negara-negara
Eropa Barat dan AS terhadap negara-negara lainnya di dunia. secara minimal
persyaratan demokrasi terdiri dari: pemerintahan yang dipilih dari suara
mayoritas dan memerintah berdasarkan persetujuan masyarakat, keberadaan
pemilihan umum yang bebas dan adil, proteksi terhadap kaum minoritas dan hak
asasi dasar manusia, persamaan perlakuan di mata hukum, proses pengadilan dan
pluralisme politik.27
Karakteristik dasar demokrasi seperti telah disebutkan di atas membukakan
pandangan bahwa inti dari demokrasi adalah kebebasan rakyat dalam menentukan
arah kebijakan pemerintah. Artinya demokrasi tidak hanya sekedar melibatkan
kebebasan masyarakat dalam sistem politik, akan tetapi lebih dari itu sampai
dengan tata cara melibatkan rakyat dalam demokrasi. Beberapa pihak mengatakan
bahwa demokrasi hanya memberikan dikotomi antara negara demokrasi dan bukan
demokrasi, padahal ukuran demokrasi amatlah beragam seperti halnya ukuran
dikemukakan oleh organisasi pemeringkat demokrasi berpusat di AS, Freedom
House, dengan indeks rata-rata, skala berkisar antara 1 sampai 7, mulai
dari:
a. Political
freedom atau kebebasan politik (10 indikator),
b. Civil
liberties atau kemerdekaan warga negara (15
indikator), seringkalidijadikan acuan dalam mengukur demokrasi.
a. Sistem
politik multi-partai kompetitif,
b. Hak
pilih setara bagi orang dewasa,
c. Pemilihan
umum dilaksanakan secara reguler, dijamin dengan pemberian suara secara
rahasia, terjamin keamanannya, dan absennya kecurangan suara pada pemilu,
d. Akses
publik terhadap partai politik besar sampai ke pemilihnya sangat terbuka
melalui media dan melalui kampanye terbuka.
Sedangkan
definisi political freedom lebih luas daripada electoral democracy,
yaitu mengukur proses pemilihan umum dan pluralisme politik, sampai bagaimana
memfungsikan pemerintah dan beberapa aspek dari partisipasi. Political freedom
akan memberikan warna pada tingkat kesuksesan demokrasi di berbagai tempat,
sehingga tidak ada demokrasi di satu negarapun dapat disamakan dengan negara
lain.
Perbedaan
kedua ukuran dari lembaga tersebut menimbulkan konsep thin atau minimalist
dan thick atau wider tentang demokrasi.28Sehinggadefinisi
demokrasilebih luas harus memperhitungkan aspek kondisi masyarakat dan budaya
politik dari masyarakat demokratis. Definisi sempit tersebut lebih merupakan
pengembangan dari konsep Robert Dahl (1970) tentang polyarchy, dengan 8
ciri:
a.
hampir semua warga
negara dewasa memiliki hak pilih,
b.
hampir semua warga
negara dewasa dapat menduduki kantor publik,
c.
pemimpin politik dapat
berkompetisi untuk memperebutkan suara,
d.
pemilihan umum harus
bebas dan fair,
e.
semua penduduk memiliki
kebebasan utuk membentuk dan bergabung dalam partai politik dan organisasi
lainnya,
f.
semua penduduk dapat
memiliki kebebasan mengekspresikan pendapat politiknya,
g.
informasi mengenai
politik banyak tersedia dan dijamin ketersediannya oleh hukum, dan
h.
kebijakan pemerintah
bergantung pada suara dan pilihan-pihan lain.
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa suatu negara dapat dikatakan demokratis apabila
memiliki karakteristik: pemerintahan sipil yang dipilih secara bebas; jujur;
dan adil dalam pemilu.
3. Demokrasi Lokal
Hakekat
desentralisasi adalah membawa negara lebih dekat dengan masyarakat lokal maupun
mendorong tumbuhnya tata pemerintahan lokal yang lebih demokratis.
Desentralisasi vis a vis otonomi daerah tidak akan menghasilkan
demokrasi lokal apabila sentralisasi dan korupsi hanya sekedar dipindahkan ke
daerah, bukan menguranginya. Demokrasi lokal seharusnya memenuhi beberapa aspek
yaitu:
a. partisipasi
dari masyarakat,
b. pengelolaan
sumber daya akuntabel dan transparan oleh masyarakat,
c. dimanfaatkan
secara responsif untuk kepentingan masyarakat luas. Selanjutnya, Benyamin
Barber (1984) mengemukakan bahwa desentralisasi tidak semata membentukpemerintahan
daerah yang menjalankan kekuasaan dan menghasilkan kebijakan akan tetapi yang
lebih penting adalah membangkitkan kompetensi warga terhadap urusannya sendiri,
komunitas, dan pemerintah lokal.
Putnam
menjelaskan bahwa, civic community sangat kental dengan civic
engangement atau pertalian warga, memiliki indikator:
a.
partisipasi masal,
b.
solidaritas sosial.
Keduanya,
menurut Putnam memiliki tingkat korelasi atau hubungan tinggi dengan kinerja
pembangunan ekonomi dan kualitas kehidupan demokrasi.
Contoh demokrasi
di Italia mentransformasikan kultur politik elit ke dalam suatu arah yang lebih
demokratis, dengan membentuk pemerintah regional yang kemudian mendapatkan
sejumlah kekuasaan otonom yang signifikan dan kontrol atas sumber daya lokal.
Sehingga tipe perpolitikan sudah tidak terpolarisasi lagi, melainkan lebih
toleran, pragmatis, lebih fleksible, dan moderat. Dampak positifnya adalah
penerimaan mutual lebih besar hampir di semua partai yang mengikuti alur
demokrasi lokal. Wargapun mulai mengidentifikasi dirinya terhadap pemerintahan
lokal bukan lagi terhadap pemerintahan nasional. Putnam melanjutkan bahwa
desentralisasi bisa berjalan beriringan dengan demokratisasi lokal dengan jalan
merangsang pertumbuhan organisasi-organisai dan jaringan masyarakat sipil yang
kerap kita dengar sebagai civil society.
4. Permasalahan Demokratisasi Lokal
Perkembangan
iklim politik Indonesia setelah jatuhnya rejim Soeharto tidak menampakan
perbaikan semakin mengkhawatirkan. Rakyat kembali turun ke jalan dengan berbagai
macam bentuk ungkapan kekesalan. Mulai dari unjuk rasa buruh, perusakan
fasilitas publik akibat kekecewaan rakyat pada hasil pilkada semisal di Tuban,
sampai protes terhadap kesewenang-wenangan pemerintah di
daerah Banten dan Banyumas, kesemuanya berujung pada kerusuhan massa.
Ironisnya, elit pemerintah rupanya terlanjur memiliki kebiasaan tidak mendidik
untuk menuding ketidakdewasaan rakyat berdemokrasi sebagai biang keladi
kerusuhan, tanpa berani menunjuk siapa di balik semua itu. Sungguh berbahaya
apabila para elit dan pendidik bangsa menyikapi kerusuhan dengan melemparkan
kesalahan pada segelintir pihak, berusaha bersikap arif di mulut lain di
perbuatan, ataupun lebih parah lagi diam seribu bahasa.
Sampai
tulisan ini disusun, umur penegakkan demokrasi di Indonesia tidaklah lebih dari
10 tahun sejak jatuhnya rejim diktator Orde Baru digantikan oleh rejim Orde
Reformasi, dengan pasangan presiden dan wakil presiden pilihan rakyat langsung.
Sebagai anak bangsa, sewajarnyalah kita bersedih ketika demokrasi di Indonesia
masih dianggap seperti “anak ingusan”. Namun kenyataan harus kita terima,
perjalanan demokrasi Indonesia masih panjang. Dengan demikian, rasanya
sangatlah tidak adil jika kesalahan serta merta ditimpakan pada satu pihak,
semisal rakyat bila terjadi mental breakdown dalam proses menuju
demokrasi. Toh, kita semua sedang dalam tahap belajar berdemokrasi.
Agaknya
pemerintah perlu mawas diri karena mungkin penegakkan demokrasi di negara kita
belum memperhatikan prasyarat bangunan demokrasi tradisional seperti halnya
konsensus atau social contract ala John Locke, dari berbagai kepentingan
dalam masyarakat. Tentunya semua pihak perlu memahami bahwa demokrasi seperti
ini tidak bisa mengakomodasi semua kepentingan, karena hanya kepentingan
mayoritas tertentu yang terwakili. Kalaupun semua pihak harus terpuaskan, apa
jadinya bentuk demokrasi nantinya. Bisa-bisa demokrasi akan “mati” ketika semua
pihak turun ke jalan dan memaksakan kehendaknya karena merasa benar. Dapat
dibayangkan, bila demokrasi terakhir ini yang kita anut, negara ini bisa babak
belur karena tidak ada yang memimpin, semua merasa berhak memimpin atas nama
demokrasi. Celakanya, gejala ini sedang melanda Indonesia.
Hendaknya
tekanan dunia internasional untuk berdemokrasi dikesampingkan terlebih dahulu.
Demokrasi ala barat atau Western democracy yang mengedepankan besarnya
antusiame rakyat mengikuti pemilihan umum, pemilihan kepala pemerintahan secara
langsung, tumbuh suburnya partai-partai politik, mengagungkan kebebasan
berpendapat, lembaga peradilan yang ajeg, penegakkan hak asasi manusia, dan
pers yang bebas (bertanggung jawab), mendatangkan bias terhadap kualitas
demokrasi itu sendiri. Akibatnya kesuksesan penegakkan demokrasi di Indonesia
tidak dibarengi dengan kesuksesan pemahaman akan arti demokrasi pada tingkat grass
root.
Proses
penegakkan demokrasi di Indonesia ternyata membawa efek samping yang justru
membahayakan kesatuan bangsa, mengapa hal itu bisa terjadi?
Menurut Jack
Snyder (2001), demokrasi yang dipaksakan pada suatu negara yang sebelumnya
masih belum “hijau” berdemokrasi, menekankan keberadaan lembaga-lembaga seperti
disebutkan di atas, akan berimbas negatif seperti timbulnya kekerasan politik.
Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel (1961) menyebutkan bahwa kekerasan
politik dapat disebabkan oleh ketidakpuasan rakyat akan saluran-saluran politik
yang ada. Sejalan dengan pendapat Gurr, Huntington (1968) yang berargumen bahwa
kesenjangan antara keinginan dan kenyataan pada proses modernisasi berdampak
pada ketidakstabilan politik. Alhasil, demokrasi yang dipaksakan hanya akan
mengembalikan pemerintahan yang tidak mau tahu apa yang diinginkan rakyatnya
alias otoritarian. Apabila pemerintah tetap memaksakan kehendaknya, bukan
mustahil akan lebih banyak lagi korban berjatuhan di kalangan rakyat akibat
timbulnya kekerasan politik sebagai efek samping penegakkan demokrasi.
Menurut Sutoro
Eko, dari IRE Yogyakarta, euphoria atau eforia adalah rasa suka cita
berlebihan, ditengarai sebagai pangkal permasalahan demokratisasi lokal.
Eforia tersebut digolongkan dalam
beberapa kategori, yaitu:
a.
eforia demokrasi
elektoral,
b.
eforia semangat
keaslian (nativism),
c.
eforia parlemen lokal,
d.
eforia kepialangan
politik,
e.
eforia NGOs lokal,
f.
eforia protes sosial
atau pembangkangan sipil.
Berikutnya, Eko menjelaskan bahwa eforia
terjadi karena sebab berikut:
a. perubahan
belum sempurna dari floating mass society menuju civil society,
b. daerah-daerah
di Indonesia mewarisi kuatnya tradisi politik feudal, otoritarian, birokratis,
dan sentralistis (K3=kekuasaan, kewenangan, kekayaan),
c. fragmentasi
masyarakat dan modal sosial.
Demokratisasi
lokal belum tumbuh sepenuhnya pada masyarakat lokal yang memperlakukan
demokrasi masih sebagai “pemoles bibir” saja. Model demokrasi tersebut banyak
ditemui di berbagai daerah, bahkan marak dalam pesta akbar pemilihan kepala
daerah (pilkada) mulai dari di level desa, kabupaten/kota, sampai provinsi.
Ditambah lagi, pesta demokrasi memilih wakil rakyat, sarat akan muatan
demokrasi barat, mengagungkan elektoral demokrasi sebagai ciri demokrasi
sesungguhnya semakin menjauhkan demokrasi dari penyusunnya sendiri yaitu
masyarakat lokal.
Memang
perubahan menuju demokratisasi lokal tidaklah gampang, seperti disinyalir oleh
Nelson Mandela (1995), dalam Long Walk to Freedom, bahwa perubahan tidak
bisa datang tiba-tiba. Demokrasi lokal membutuhkan lebih dari sekedar elektoral
demokrasi, mengintegrasikan rakyat secara politik baik melalui ikatan-ikatan
sosial, pemimpin-pemimpin tradisional, tokoh agama, dan lainnya
dalam politik daerah. Politik daerah dalam demokrasi lokal bukan hanya milik
elit pemerintah atau politik di gedung dewan perwakilan rakyat daerah saja.
Proses
pendemokrasian rakyat semestinya ditunjang keberadaan saluran-saluran politik
yang mampu mengakomodasi aspirasi mereka. Rakyat bukanlah aktor politik, elit
penguasalah yang bertanggung jawab untuk menyediakan saluran-saluran politik
yang legitimate sekaligus mendidik rakyatnya berdemokrasi. Bila tidak
terpenuhi, wajar saja rakyat menuntut haknya. Dengan demikian lembaga-lembaga
yang ada mungkin harus diredefinisikan kembali sejalan dengan aspirasi rakyat.
Bercermin
ke belakang bukan berarti meruntuhkan bangunan lembaga-lembaga demokrasi yang
ada, justru diperlukan kearifan untuk menghidupkan kembali lembaga-lembaga
demokrasi tradisional seperti halnya konsensus dalam masyarakat Indonesia. Oleh
karena itu, ada baiknya semua pihak berusaha merendahkan hati dan membuang
kebiasaan negatif menyalahkan orang lain demi memperbaiki kesalahan pada proses
demokrasi yang kita anggap sebagai kesepakatan bersama.
Tuntutan
penerapan meknisme pemilihan kepala daerah secara langsung semakin hari semakin
menguat sebagai reaksi dari proses pemililan kepala daerah di sejumlah daerah
sarat dengan kasus-kasus money politik. Mekanisme pemilihan kepala daerah
secara langsung diyakini sebagai solusi ke arah penguatan demokrasi di tingkat
lokal sekaligus mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang
berkuasa. perubahan pola pemerintahan yang sentralistis menjadi desentralistis
membawa pergeseran lokus kekuasaan dari pusat ke daerah termasuk pula
perluasaan kewengan politik di tingkat lokal. Akan tetapi semangat
desentrlisasi pada kenyataan tidak diimbangi oleh pertumbuhan demokrtisasi di
tingkat lokal. Keterbatasan peran masyarakat dalam dinamika politik lokal
tampak dari proses pemilihan para
pejabat publik (anggota legislatif maupun kepala daerah) pemilihan anggota DPRD
berlangsung dalam sistem proporsional di mana para calon di tentukan oleh dewan
pimpinan partai sementara proses pemilihan kepala daerah di dominasi oleh peran
DPRD. Dalam kedua proses politik ini saja sudah terindiksi sempitnya ruang
publik bagi partisipasi masyarakat padahal desentralisasi juga mengandung
dimensi politik yang mensyarakat adanya keterlibatan rakyat dalam seluruh
proses pememrintahan.
Secara teoritis terdapat relevansi
antara partispasi langsung dengan demokrasi namun demikan asumsi ini tidak
dapat langsung menjustifikasi bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah secara
langung berkolerasi langsung dengan demokrasi
di tingkat politik pada praktinya penerapan desentralisasi dan otonomi daerah
melibatkam berbagai dimensi seperti ketersediaan peraturan perundang undangan
sebagai penjabaran dan peraturan perundang undangan sebagai penjabaran dan
pengaturan lebih lanjut UU No. 22 tahun 1999 kapasitas kelembagaan dan
berkualitas personel yang memadai. Oleh karena itu masih perlu kajian yang
lebih mendalam dalam komprehensif mengenai relevansi pemilihan kepala daerah
secara langsung dengan penguatan demokratis di tingkat lokal.
Relevansi mekanisme
pemilihan kepala daerah dengan demokrasi lokal
UU No. 22 Tahun 1999 membawa
perubahan yang cukup signifikan dalam mekanisme maupun subtansi pemilihan
kepala daerah. Secara prosedural pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD
mulai dari tahap pencalonan samapai dengan penetpan proses penilaian kepala daerah
di lakukan melalui mekanisme pengumutan suara secara langsung dengan ketentuan
(setiap anggota DPRD dapat memberikan suara pada satu pasang calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah) akibat proses pemilihan kepala daerah menjadi
kehilangan makna senangi proses politik dan beralih menjadi pragmatisme
politik. Dalam kasus-kasus ini timbulnya gejolak selalu disebabkan oleh
penyimpangan yang sama,yakni distorsi aspirasi publik indikasi politik
uang.namun demikian sejumlah penyimpangan yang terjadi dalam proses pemilihan
kepala daearh tidak dapat langsung simpulkan sebagai akibat dari penerapan
mekanisme perwakilan. Mekanisme perwakilan memang memiliki kelemahan dalam hal
distorsi aspirasi namun praktik politik uang maupun pragmatisme politik tidak
semata mata disebabkan oleh mekanisme perwakilan dalam kasus pemilihan kepala
desa secara langsug pun masih sering terjadi politik uang dan pragmatisme
politik yang ditandai oleh dominasi elit desa dan fragmentasi masyarakat ke
dalam politik aliran.
Identifikasi pokok permasalahan yang
memnyebabkan terjadi nya penyimpngan pokok pemilihan secara tidak langsug harus
dilakukan sebelum memutuskan untuk mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah.
Dengan demikian demokratisasi di tingkat lokal tidak hanya ditentukan oleh
bentuk formal pemilihan kepala daerahnya tapi juga revisi sitem secara
keeluruhan. Artinya untuk menerapkan pemilihan kepla adaerah secara langsung
harus di dukung oleh
prakondisi-prakondisi tertentu yang dapat memperkuat institusi –institusi dan
kualitas aktor-aktor politik di tingkat lokal.
KrisisLegitimasi:
IndikasiDemokratisasi Yang Membeku (Frozen demokracy)
Hampir
semua konsep tentang demokratisasi menggambarkan proses menuju demokrasi sebagai perjalanan yang
panjang melalui sejumlah tahapan, yang pada dasarnya meliputi tahap jatuhnya
rezim; liberalisasi; lahirnyaaturan main baru; dan tahap konsolidasi (pelembagaan
aturan main yang baru ).Dengan kata lain ada kesepakatan di Antara seluruh
stake holder bahwa demokrasi merupakan satu-satunya jalan yang terbaik dalam
penyelenggaraan pemerintah (democracy as the only game in town).
Kondisi
ini terjadi sebagai akibat reformasi tidak mampu menghasilkan pemerintahan yang
kuat yang mampu melakukan perubahan-perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang
mendasar sesuai dengan tuntutan reformasi. Pemerintahan yang lemah (weak state
atau soft state) ini maksudnya adalah pemerintahan yang tidak memiliki
kewibawaan di hadapan rakyat nya dan tidak mampu menegakkan hokum untuk
memelihara ketertiban. Penegakan hokum tidak berjalan karena pemerintah tidak
dapat menyelesaikan kasus-kasus korupsi dan pelanggaran HAM yang terjadi di
masa lampau.Penyerahan kewenangan yang lebih luas kepada daerah ternyata hanya
sampai pada otonomi pemerintah daerah dan bukan otonomi daerah (pemerintah dan
masyarakat daerah). Keadaan seperti ini mengarah pada dominasi kekuasan oleh
elit lokal. Desentrisasi tampa demokratisasi tampak nya cenderung menghasilkan
otonomi pemerintah, dan bukan otonomi masyarakat di daerah. Konsekuensinya,
dinamika politik local tidak menjadi proses politik yang mendorong terciptanya
iklim kondusif bagi demokratisasi.
PemilihanKepala Daerah
SecaraLangsung Dan PeluangDemokratisasi
Esiensi
demokrasi adalah partisipasi public dalam mnentukan pejabat-pejabat politik dan
dalam pembuatan kebijakan publik. Kualitas system demokrasi ikut ditentukan
oleh kualitas proses seleksi para wakil, termasuk wakil yang memperoleh
mandatuntuk memimpin pemerintahan. Karena itu, pemilihan kepala daerah secara
langsung merupakan salah satu alternatif yang biasa di pilih untuk meningkatkan
legitimasi pemerintah daerah.Ada sejumlah argumen yang melandasi relevansi
pemilihan kepala daerah secara langsung dengan legitimasi pemerintahan daerah. Pertama, pemilihan secara langsung
diperlukan untuk memutus oligarkhi partai yang mewarnai pola pengorganisasian
partai politik di DPRD. Kedua, pemilihan
kepala daerah secara langsung dapat meningkatkan kualitas akuntabilitas para
elit politik lokal, termasuk kepala-kepala daerah. Mekanisme pemilihan kepala
daerah secara perwakilan cenderung menciptakan ketergantungan berlebihan kepala
daerah terhadap DPRD. Ketiga, pemilihan
langsung kepala daerah akan memperkuat dan meningkat kan seleksi kepemimpinan
elit local sehingga membuka peluang bagi munculnya figur-figur alternative yang
memiliki kapabilitas dan dukungan riil di masyarakat lokal. Keempat, pemilihan secara langsung lebih
meningkatkan kualitas keterwakilan (representativeness) Karena masyarakat dapat
menentukan pemimpin nya di tingkat lokal.
Mekanisme
rekrutment kepala daerah merupakan salah satu dimensi dalam meningkatkan
kualitas demokrasi di tingkat lokal. Penerapan mekanisme pemilihan langsung
tidak dengan sendirinya akan menjamin terjadinya peningkatan kualitas
demokrasi. Karena itu, penerapan mekanisme pemilihan langsung harus didukung
perubahan konteks. Konteks ini meliputi :
a. Budaya
politik masyarakat
b. Pola
pengorganisasian partai politik cenderung sentralistis dalam stuktur
internalnya, yang tampak dari maraknya politik “restu” dari DPP dalam penentuan
calon kepala daerah
c. Politik
aliran dalam dinamika politik local akan mengarah pada disintegrasi dan instabilitas
Pemilihan
kepala daerah secara langsung akan punya makna dan efektif dalam mengembalikan
legitimasi politik jika di dukung oleh prakondisi-prakondisi sebagai berikut :
a. Secara
procedural demokratis :mekanisme demokratis (termasuk penepatan syarat-syaratcalon,
mekanisme pencalonan, dan penghitungan suara yang transparan dan adil); aturan
main dalam bentuk prundang-undangan yang demokratis (di sepakati seluruh
pihak); revisi system pemilu secara distrik sehingga keterwakilan lebih
terjamin; pola pengorganisasian parpol yang desentralistis; isu-isu local dalam
kampanye pemilu lokal.
b. Secara
substantif ; ada ruang publik yang terbuka dan inkulusif bagi partisipasi
publik;
5. KESIMPULAN
Ø Dalam
demokrasi lokal terdapat beberapa aspek yang harus di penuhi. Demi tercapainya
otonomi daerah yang adil dan mementingkan kepentingan masyarakat.
a.
partisipasi dari
masyarakat,
b.
pengelolaan sumber daya
akuntabel dan transparan oleh masyarakat,
c.
dimanfaatkan secara
responsif untuk kepentingan masyarakat luas. Selanjutnya, Benyamin Barber
(1984) mengemukakan bahwa desentralisasi tidak semata membentuk pemerintahan
daerah yang menjalankan kekuasaan dan menghasilkan kebijakan akan tetapi yang
lebih penting adalah membangkitkan kompetensi warga terhadap urusannya sendiri,
komunitas, dan pemerintah lokal.
Ø Pemilihan
kepala daerah secara langsung pasti terdapat kelebihan dan kekurangan maupun
kekutan dan kelemahan. Terdapat beberapa kelemahan dari relevansi makanisme
pemilihan kepala daerah dengan demokrasi lokal. Dalam praktinya, mekanisme
perwakilan yang di terapkan dalam proses pemilihan kepala daerah menurut UU No.
22 tahun 1999 juga mempunyai kelemahan kerena memberi ruang yang sangat dominan
bagi DPRD dalam proses pemilihan kepala daerah.
6. SARAN
Dengan
demikian, pemilihan kepala daerah secara langsung baru akan bermakna dalam
meningkatkan demokratisasi lokal jika didukung oleh upaya revisi system secara
keseluruhan. Dinamka politik local tidak berada dalam ruang yang hampa, tapi
senantiasa dipengaruhi Tarik-menarik berbagai kekuatan, baik elit maupun massa,
baik eksternal maupun internal.
Pemilihan
kepala desa secara langsung tidak akan membawa perubahan jika tika tidak di
dukung desain sistem pmili nasional yang menjamin keterwakilan dan kwalitas
anggota lembanga legislatif. Dalam tataran lokal, sistem pemilihan kepala
daerah juga harus memuat ketentuan-ketentuan yang dapat meminimalkan potensi
konflik di daerah, baik yang di sebabkan poltik airan, mobilisasi massa, maupun
konflik kepentingan yang bersifat elitis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar