Senin, 09 Februari 2015

MAKALAH OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF DEMOKRATISASI LOKAL

OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF DEMOKRATISASI LOKAL




OLEH KELOMPOK :
WAWAN JAMAN DARI (712.1.1.1844)
DEWI KARTIKA (712.1.1.1813 )
YAYUK SRI WAHYUNI (712.1.1.1845  )
MIRI WARIS WATI FITRIYANI (712.1.1.1825  )
MISNAWI (712.1.1.18  )


UNIVERSITAS WIRARAJA
SUMENEP
2014-2015
OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF DEMOKRATISASI LOKAL

1.      LATAR BELAKANG
Otonomi daerah sesungguhnya bertujuan mendekatkan rakyat terhadap pemerintahnya. Kedekatan pemerintah dengan rakyat berdampak positif terhadap meningkatnya pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang selama ini terabaikan karena sentralisasi kekuasaan.Namun sungguh disayangkan karena demokratisasi lokal tidak sepenuhnya terlaksana seiring dengan tumbuh pesatnya otonomi daerah. Bahkan indikasi dari peristiwa pilkada sebagai perwujudan kasat mata demokrasi lokal yang berlangsung sepanjang April sampai dengan September 2008, banyak pilkada berakhir tanpa makna berarti bagi rakyat bahkan menimbulkan kerugian semata.
           Keterbatasan peran masyarakat dalam dinamika politik lokal tampak dari  proses pemilihan para pejabat publik (anggota legislatif maupun kepala daerah) pemilihan anggota DPRD berlangsung dalam sistem proporsional di mana para calon di tentukan oleh dewan pimpinan partai sementara proses pemilihan kepala daerah di dominasi oleh peran DPRD. Dalam kedua proses politik ini saja sudah terindiksi sempitnya ruang publik bagi partisipasi masyarakat padahal desentralisasi juga mengandung dimensi politik yang mensyarakat adanya keterlibatan rakyat dalam seluruh proses pemerintah.
Secara teoritis terdapat relevansi antara partispasi langsung dengan demokrasi namun demikan asumsi ini tidak dapat langsung menjustifikasi bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah secara langung  berkolerasi langsung dengan demokrasi di tingkat politik pada praktinya penerapan desentralisasi dan otonomi daerah melibatkam berbagai dimensi seperti ketersediaan peraturan perundang undangan sebagai penjabaran dan peraturan perundang undangan sebagai penjabaran dan pengaturan lebih lanjut UU No. 22 tahun 1999 kapasitas kelembagaan dan berkualitas personel yang memadai. Oleh karena itu masih perlu kajian yang lebih mendalam dalam komprehensif mengenai relevansi pemilihan kepala daerah secara langsung dengan penguatan demokratis di tingkat lokal.



2.      CASE STUDY
Pemilu kepala daerah Langsung dan Tidak langsung
Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD,sejak berlakunya UU nomor 32 tahun 2004 tentang kepala daerah, kepala daerah dpilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah atau disingkat PILKADA, Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan juni 2005.
Sejak berlakunya UU nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggar pemilu umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmibernama pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah atau disingkat pemilu Pilkada. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan UU ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Pada tahun 2011, terbit UU baru mengenai peneyelenggara pemilihan umum yaitu UU nomor 15 tahun 2011. Di dalam  UU ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati dan wali kota. Pada tahun 2014, DPR RI kembali mengangkat isu krusial terkait pemelihan kepala daerah secara langsung. Sidang paripurna DPR RI pada tanggal 24 september 2014 memutuskan bahwa pemilihan kepala daerah dikembalikan secara tidak langsung,atau kembali dipilih oleh DPRD. Putusan pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DPR RI.Keputusan ini telah menyebabkan beberapa pihak kecewa,keputusan ini dinilai sebagai langkah mundur, di bidang pembangunan demokrasi,sehingga masih dicarikan cara untuk menggagalkannya keputusan itu melalui uji materi ke MK.bagi sebagian pihak yang lain Pemilukada tidak langsung atau langsung dinilai sama saja.

3.      RUMUSAN MASALAH
Ø  Apa saja aspek-aspek yang harus memenuhi demokrasi lokal ?
Ø  Apa kelemahan dari relevansi mekanisme pemilihan kepala daerah dengan demokrasi lokal ?



4.      PEMBAHASAN/PENJELASAN
Demokrasi lahir dari bangsa Yunani kuno yang mengedepankan gaya pemerintahan berdasarkan suara rakyat. Kata demokrasi berasal dari dua suku kata yaitu demos yang berarti rakyat dan –kratein yang berarti memerintah. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa demokrasi adalah rakyat memerintah atau pemerintahan yang sering sekali dikatakan sebagai dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.Namun demikian, demokrasi tersebut cenderung mengarah padasistem pemerintahan agresif dan tidak stabil cenderung mengarah pada tirani.Plato kemungkinan besar berpendapat bahwa demokrasi melahirkan pemimpin dan yang dipimpin dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat merupakan suatu impian belaka. Karena pada kenyataannya demokrasi hanya melahirkan segelintir orang mengatasnamakan seluruh rakyat. Legitimasi memerintah atas nama orang banyak tersebut ternyata akan melahirkan bentuk pemerintahan tirani ketimbang demokratis.
Dalam Capitalism, Socialism, and Democracy, Schumpeter mengatakan kekurangan teori demokrasi klasik tersebut yang selalu menghubungkan antara kehendak rakyat (the will of the people) dan sumber serta bertujuan demi kebaikan bersama (the common good). Schumpeter kemudian mengusulkan.
“Teori lain mengenai demokrasi” atau “metode demokrasi” memaknai demokrasi dari sudut prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yand di dalamnya setiap individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetititf dalam rangka memperoleh dukungan berupa suara rakyat. Demokrasi pada taraf metode tidak melibatkan unsur emosi lagi, akan tetapi lebih menekankan pada akal sehat.
Konsep demokrasi telah mengalami perkembangan sejak definisi empirik Schumpeter dikemukakan, perdebatan akademis seputar demokrasi melahirkan definisi konsep paling beragam dalam ranah akademis.
Amerika Serikat yang memiliki agenda utama dalam mempromosikan demokrasi dalam kebijakan luar negerinyapun ternyata belum memiliki kesepakatan tentang makna demokrasi.Karena itulah demokrasi masih menimbulkan perdebatan terutama dalam penerapannya di negara-negara berkembang.
Definisi demokrasi lainnya seperti dikemukakan oleh Ebenstein (1967) bercirikan:
a.    empirisme rasional,
b.    individu-oriented,
c.    negara sebagai alat,
d.   kesukarelaan,
e.    hukum di atas hukum,
f.     cara,
g.    persetujuan,
h.    persamaan.
Sedangkan Robert Dahl, seperti dikutip oleh Samuel Huntington (1997) mengungkapkan bahwa demokrasi tidak boleh melibatkan unsur emosi akan tetapi menggunakan akal sehat. Pemikiran Dahl terhadap demokrasi menandai bergulirnya babak baru pemikiran tentang demokrasi. Pengertian demokrasi di berbagai belahan dunia merujuk pada penegakkan demokrasi di Amerika Serikat mengalami distorsi makna karena dapat dipertukarkan dengan pengertian sangat sempit, semisal voting atau pemilihan umum semata. Padahal demokrasi sebagai suatu konsep memiliki pengertian lebih luas. Pencitraan demokrasi di AS sedemikian absurd-nya, sehingga dikatakan bahwa demokrasi merupakan instrumen penekan negara-negara Eropa Barat dan AS terhadap negara-negara lainnya di dunia. secara minimal persyaratan demokrasi terdiri dari: pemerintahan yang dipilih dari suara mayoritas dan memerintah berdasarkan persetujuan masyarakat, keberadaan pemilihan umum yang bebas dan adil, proteksi terhadap kaum minoritas dan hak asasi dasar manusia, persamaan perlakuan di mata hukum, proses pengadilan dan pluralisme politik.27 Karakteristik dasar demokrasi seperti telah disebutkan di atas membukakan pandangan bahwa inti dari demokrasi adalah kebebasan rakyat dalam menentukan arah kebijakan pemerintah. Artinya demokrasi tidak hanya sekedar melibatkan kebebasan masyarakat dalam sistem politik, akan tetapi lebih dari itu sampai dengan tata cara melibatkan rakyat dalam demokrasi. Beberapa pihak mengatakan bahwa demokrasi hanya memberikan dikotomi antara negara demokrasi dan bukan demokrasi, padahal ukuran demokrasi amatlah beragam seperti halnya ukuran dikemukakan oleh organisasi pemeringkat demokrasi berpusat di AS, Freedom House, dengan indeks rata-rata, skala berkisar antara 1 sampai 7, mulai dari:
a.    Political freedom atau kebebasan politik (10 indikator),
b.    Civil liberties atau kemerdekaan warga negara (15 indikator), seringkalidijadikan acuan dalam mengukur demokrasi.
Selain itu Freedom House memiliki konsep sempit mengenai electoraldemocracy, yaitu demokrasi dalam arti sangat minimal paling tidak memilikikarakteristik:
a.    Sistem politik multi-partai kompetitif,
b.    Hak pilih setara bagi orang dewasa,
c.    Pemilihan umum dilaksanakan secara reguler, dijamin dengan pemberian suara secara rahasia, terjamin keamanannya, dan absennya kecurangan suara pada pemilu,
d.   Akses publik terhadap partai politik besar sampai ke pemilihnya sangat terbuka melalui media dan melalui kampanye terbuka.
Sedangkan definisi political freedom lebih luas daripada electoral democracy, yaitu mengukur proses pemilihan umum dan pluralisme politik, sampai bagaimana memfungsikan pemerintah dan beberapa aspek dari partisipasi. Political freedom akan memberikan warna pada tingkat kesuksesan demokrasi di berbagai tempat, sehingga tidak ada demokrasi di satu negarapun dapat disamakan dengan negara lain.
Perbedaan kedua ukuran dari lembaga tersebut menimbulkan konsep thin atau minimalist dan thick atau wider tentang demokrasi.28Sehinggadefinisi demokrasilebih luas harus memperhitungkan aspek kondisi masyarakat dan budaya politik dari masyarakat demokratis. Definisi sempit tersebut lebih merupakan pengembangan dari konsep Robert Dahl (1970) tentang polyarchy, dengan 8 ciri:
a.         hampir semua warga negara dewasa memiliki hak pilih,
b.        hampir semua warga negara dewasa dapat menduduki kantor publik,
c.         pemimpin politik dapat berkompetisi untuk memperebutkan suara,
d.        pemilihan umum harus bebas dan fair,
e.         semua penduduk memiliki kebebasan utuk membentuk dan bergabung dalam partai politik dan organisasi lainnya,
f.         semua penduduk dapat memiliki kebebasan mengekspresikan pendapat politiknya,
g.        informasi mengenai politik banyak tersedia dan dijamin ketersediannya oleh hukum, dan
h.        kebijakan pemerintah bergantung pada suara dan pilihan-pihan lain.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu negara dapat dikatakan demokratis apabila memiliki karakteristik: pemerintahan sipil yang dipilih secara bebas; jujur; dan adil dalam pemilu.
3. Demokrasi Lokal
Hakekat desentralisasi adalah membawa negara lebih dekat dengan masyarakat lokal maupun mendorong tumbuhnya tata pemerintahan lokal yang lebih demokratis. Desentralisasi vis a vis otonomi daerah tidak akan menghasilkan demokrasi lokal apabila sentralisasi dan korupsi hanya sekedar dipindahkan ke daerah, bukan menguranginya. Demokrasi lokal seharusnya memenuhi beberapa aspek yaitu:
a.    partisipasi dari masyarakat,
b.    pengelolaan sumber daya akuntabel dan transparan oleh masyarakat,
c.    dimanfaatkan secara responsif untuk kepentingan masyarakat luas. Selanjutnya, Benyamin Barber (1984) mengemukakan bahwa desentralisasi tidak semata membentukpemerintahan daerah yang menjalankan kekuasaan dan menghasilkan kebijakan akan tetapi yang lebih penting adalah membangkitkan kompetensi warga terhadap urusannya sendiri, komunitas, dan pemerintah lokal.
Putnam menjelaskan bahwa, civic community sangat kental dengan civic engangement atau pertalian warga, memiliki indikator:
a.       partisipasi masal,
b.      solidaritas sosial.
Keduanya, menurut Putnam memiliki tingkat korelasi atau hubungan tinggi dengan kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas kehidupan demokrasi.
Contoh demokrasi di Italia mentransformasikan kultur politik elit ke dalam suatu arah yang lebih demokratis, dengan membentuk pemerintah regional yang kemudian mendapatkan sejumlah kekuasaan otonom yang signifikan dan kontrol atas sumber daya lokal. Sehingga tipe perpolitikan sudah tidak terpolarisasi lagi, melainkan lebih toleran, pragmatis, lebih fleksible, dan moderat. Dampak positifnya adalah penerimaan mutual lebih besar hampir di semua partai yang mengikuti alur demokrasi lokal. Wargapun mulai mengidentifikasi dirinya terhadap pemerintahan lokal bukan lagi terhadap pemerintahan nasional. Putnam melanjutkan bahwa desentralisasi bisa berjalan beriringan dengan demokratisasi lokal dengan jalan merangsang pertumbuhan organisasi-organisai dan jaringan masyarakat sipil yang kerap kita dengar sebagai civil society.


4. Permasalahan Demokratisasi Lokal
Perkembangan iklim politik Indonesia setelah jatuhnya rejim Soeharto tidak menampakan perbaikan semakin mengkhawatirkan. Rakyat kembali turun ke jalan dengan berbagai macam bentuk ungkapan kekesalan. Mulai dari unjuk rasa buruh, perusakan fasilitas publik akibat kekecewaan rakyat pada hasil pilkada semisal di Tuban, sampai protes terhadap kesewenang-wenangan pemerintah di daerah Banten dan Banyumas, kesemuanya berujung pada kerusuhan massa. Ironisnya, elit pemerintah rupanya terlanjur memiliki kebiasaan tidak mendidik untuk menuding ketidakdewasaan rakyat berdemokrasi sebagai biang keladi kerusuhan, tanpa berani menunjuk siapa di balik semua itu. Sungguh berbahaya apabila para elit dan pendidik bangsa menyikapi kerusuhan dengan melemparkan kesalahan pada segelintir pihak, berusaha bersikap arif di mulut lain di perbuatan, ataupun lebih parah lagi diam seribu bahasa.
Sampai tulisan ini disusun, umur penegakkan demokrasi di Indonesia tidaklah lebih dari 10 tahun sejak jatuhnya rejim diktator Orde Baru digantikan oleh rejim Orde Reformasi, dengan pasangan presiden dan wakil presiden pilihan rakyat langsung. Sebagai anak bangsa, sewajarnyalah kita bersedih ketika demokrasi di Indonesia masih dianggap seperti “anak ingusan”. Namun kenyataan harus kita terima, perjalanan demokrasi Indonesia masih panjang. Dengan demikian, rasanya sangatlah tidak adil jika kesalahan serta merta ditimpakan pada satu pihak, semisal rakyat bila terjadi mental breakdown dalam proses menuju demokrasi. Toh, kita semua sedang dalam tahap belajar berdemokrasi.
Agaknya pemerintah perlu mawas diri karena mungkin penegakkan demokrasi di negara kita belum memperhatikan prasyarat bangunan demokrasi tradisional seperti halnya konsensus atau social contract ala John Locke, dari berbagai kepentingan dalam masyarakat. Tentunya semua pihak perlu memahami bahwa demokrasi seperti ini tidak bisa mengakomodasi semua kepentingan, karena hanya kepentingan mayoritas tertentu yang terwakili. Kalaupun semua pihak harus terpuaskan, apa jadinya bentuk demokrasi nantinya. Bisa-bisa demokrasi akan “mati” ketika semua pihak turun ke jalan dan memaksakan kehendaknya karena merasa benar. Dapat dibayangkan, bila demokrasi terakhir ini yang kita anut, negara ini bisa babak belur karena tidak ada yang memimpin, semua merasa berhak memimpin atas nama demokrasi. Celakanya, gejala ini sedang melanda Indonesia.
Hendaknya tekanan dunia internasional untuk berdemokrasi dikesampingkan terlebih dahulu. Demokrasi ala barat atau Western democracy yang mengedepankan besarnya antusiame rakyat mengikuti pemilihan umum, pemilihan kepala pemerintahan secara langsung, tumbuh suburnya partai-partai politik, mengagungkan kebebasan berpendapat, lembaga peradilan yang ajeg, penegakkan hak asasi manusia, dan pers yang bebas (bertanggung jawab), mendatangkan bias terhadap kualitas demokrasi itu sendiri. Akibatnya kesuksesan penegakkan demokrasi di Indonesia tidak dibarengi dengan kesuksesan pemahaman akan arti demokrasi pada tingkat grass root.
Proses penegakkan demokrasi di Indonesia ternyata membawa efek samping yang justru membahayakan kesatuan bangsa, mengapa hal itu bisa terjadi?
Menurut Jack Snyder (2001), demokrasi yang dipaksakan pada suatu negara yang sebelumnya masih belum “hijau” berdemokrasi, menekankan keberadaan lembaga-lembaga seperti disebutkan di atas, akan berimbas negatif seperti timbulnya kekerasan politik. Ted Robert Gurr dalam Why Men Rebel (1961) menyebutkan bahwa kekerasan politik dapat disebabkan oleh ketidakpuasan rakyat akan saluran-saluran politik yang ada. Sejalan dengan pendapat Gurr, Huntington (1968) yang berargumen bahwa kesenjangan antara keinginan dan kenyataan pada proses modernisasi berdampak pada ketidakstabilan politik. Alhasil, demokrasi yang dipaksakan hanya akan mengembalikan pemerintahan yang tidak mau tahu apa yang diinginkan rakyatnya alias otoritarian. Apabila pemerintah tetap memaksakan kehendaknya, bukan mustahil akan lebih banyak lagi korban berjatuhan di kalangan rakyat akibat timbulnya kekerasan politik sebagai efek samping penegakkan demokrasi.
Menurut Sutoro Eko, dari IRE Yogyakarta, euphoria atau eforia adalah rasa suka cita berlebihan, ditengarai sebagai pangkal permasalahan demokratisasi lokal.
Eforia tersebut digolongkan dalam beberapa kategori, yaitu:
a.         eforia demokrasi elektoral,
b.        eforia semangat keaslian (nativism),
c.         eforia parlemen lokal,
d.        eforia kepialangan politik,
e.         eforia NGOs lokal,
f.         eforia protes sosial atau pembangkangan sipil.
Berikutnya, Eko menjelaskan bahwa eforia terjadi karena sebab berikut:
a.    perubahan belum sempurna dari floating mass society menuju civil society,
b.    daerah-daerah di Indonesia mewarisi kuatnya tradisi politik feudal, otoritarian, birokratis, dan sentralistis (K3=kekuasaan, kewenangan, kekayaan),
c.    fragmentasi masyarakat dan modal sosial.

Demokratisasi lokal belum tumbuh sepenuhnya pada masyarakat lokal yang memperlakukan demokrasi masih sebagai “pemoles bibir” saja. Model demokrasi tersebut banyak ditemui di berbagai daerah, bahkan marak dalam pesta akbar pemilihan kepala daerah (pilkada) mulai dari di level desa, kabupaten/kota, sampai provinsi. Ditambah lagi, pesta demokrasi memilih wakil rakyat, sarat akan muatan demokrasi barat, mengagungkan elektoral demokrasi sebagai ciri demokrasi sesungguhnya semakin menjauhkan demokrasi dari penyusunnya sendiri yaitu masyarakat lokal.
Memang perubahan menuju demokratisasi lokal tidaklah gampang, seperti disinyalir oleh Nelson Mandela (1995), dalam Long Walk to Freedom, bahwa perubahan tidak bisa datang tiba-tiba. Demokrasi lokal membutuhkan lebih dari sekedar elektoral demokrasi, mengintegrasikan rakyat secara politik baik melalui ikatan-ikatan sosial, pemimpin-pemimpin tradisional, tokoh agama, dan lainnya dalam politik daerah. Politik daerah dalam demokrasi lokal bukan hanya milik elit pemerintah atau politik di gedung dewan perwakilan rakyat daerah saja.
Proses pendemokrasian rakyat semestinya ditunjang keberadaan saluran-saluran politik yang mampu mengakomodasi aspirasi mereka. Rakyat bukanlah aktor politik, elit penguasalah yang bertanggung jawab untuk menyediakan saluran-saluran politik yang legitimate sekaligus mendidik rakyatnya berdemokrasi. Bila tidak terpenuhi, wajar saja rakyat menuntut haknya. Dengan demikian lembaga-lembaga yang ada mungkin harus diredefinisikan kembali sejalan dengan aspirasi rakyat.
Bercermin ke belakang bukan berarti meruntuhkan bangunan lembaga-lembaga demokrasi yang ada, justru diperlukan kearifan untuk menghidupkan kembali lembaga-lembaga demokrasi tradisional seperti halnya konsensus dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, ada baiknya semua pihak berusaha merendahkan hati dan membuang kebiasaan negatif menyalahkan orang lain demi memperbaiki kesalahan pada proses demokrasi yang kita anggap sebagai kesepakatan bersama.
Tuntutan penerapan meknisme pemilihan kepala daerah secara langsung semakin hari semakin menguat sebagai reaksi dari proses pemililan kepala daerah di sejumlah daerah sarat dengan kasus-kasus money politik. Mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung diyakini sebagai solusi ke arah penguatan demokrasi di tingkat lokal sekaligus mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang berkuasa. perubahan pola pemerintahan yang sentralistis menjadi desentralistis membawa pergeseran lokus kekuasaan dari pusat ke daerah termasuk pula perluasaan kewengan politik di tingkat lokal. Akan tetapi semangat desentrlisasi pada kenyataan tidak diimbangi oleh pertumbuhan demokrtisasi di tingkat lokal. Keterbatasan peran masyarakat dalam dinamika politik lokal tampak dari  proses pemilihan para pejabat publik (anggota legislatif maupun kepala daerah) pemilihan anggota DPRD berlangsung dalam sistem proporsional di mana para calon di tentukan oleh dewan pimpinan partai sementara proses pemilihan kepala daerah di dominasi oleh peran DPRD. Dalam kedua proses politik ini saja sudah terindiksi sempitnya ruang publik bagi partisipasi masyarakat padahal desentralisasi juga mengandung dimensi politik yang mensyarakat adanya keterlibatan rakyat dalam seluruh proses pememrintahan.
            Secara teoritis terdapat relevansi antara partispasi langsung dengan demokrasi namun demikan asumsi ini tidak dapat langsung menjustifikasi bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah secara langung  berkolerasi langsung dengan demokrasi di tingkat politik pada praktinya penerapan desentralisasi dan otonomi daerah melibatkam berbagai dimensi seperti ketersediaan peraturan perundang undangan sebagai penjabaran dan peraturan perundang undangan sebagai penjabaran dan pengaturan lebih lanjut UU No. 22 tahun 1999 kapasitas kelembagaan dan berkualitas personel yang memadai. Oleh karena itu masih perlu kajian yang lebih mendalam dalam komprehensif mengenai relevansi pemilihan kepala daerah secara langsung dengan penguatan demokratis di tingkat lokal.
Relevansi mekanisme pemilihan kepala daerah dengan demokrasi lokal
            UU No. 22 Tahun 1999 membawa perubahan yang cukup signifikan dalam mekanisme maupun subtansi pemilihan kepala daerah. Secara prosedural pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD mulai dari tahap pencalonan samapai dengan penetpan proses penilaian kepala daerah di lakukan melalui mekanisme pengumutan suara secara langsung dengan ketentuan (setiap anggota DPRD dapat memberikan suara pada satu pasang calon kepala daerah dan wakil kepala daerah) akibat proses pemilihan kepala daerah menjadi kehilangan makna senangi proses politik dan beralih menjadi pragmatisme politik. Dalam kasus-kasus ini timbulnya gejolak selalu disebabkan oleh penyimpangan yang sama,yakni distorsi aspirasi publik indikasi politik uang.namun demikian sejumlah penyimpangan yang terjadi dalam proses pemilihan kepala daearh tidak dapat langsung simpulkan sebagai akibat dari penerapan mekanisme perwakilan. Mekanisme perwakilan memang memiliki kelemahan dalam hal distorsi aspirasi namun praktik politik uang maupun pragmatisme politik tidak semata mata disebabkan oleh mekanisme perwakilan dalam kasus pemilihan kepala desa secara langsug pun masih sering terjadi politik uang dan pragmatisme politik yang ditandai oleh dominasi elit desa dan fragmentasi masyarakat ke dalam politik aliran.
            Identifikasi pokok permasalahan yang memnyebabkan terjadi nya penyimpngan pokok pemilihan secara tidak langsug harus dilakukan sebelum memutuskan untuk mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah. Dengan demikian demokratisasi di tingkat lokal tidak hanya ditentukan oleh bentuk formal pemilihan kepala daerahnya tapi juga revisi sitem secara keeluruhan. Artinya untuk menerapkan pemilihan kepla adaerah secara langsung harus di dukung  oleh prakondisi-prakondisi tertentu yang dapat memperkuat institusi –institusi dan kualitas aktor-aktor politik di tingkat lokal.
KrisisLegitimasi: IndikasiDemokratisasi Yang Membeku (Frozen demokracy)
Hampir semua konsep tentang demokratisasi menggambarkan proses  menuju demokrasi sebagai perjalanan yang panjang melalui sejumlah tahapan, yang pada dasarnya meliputi tahap jatuhnya rezim; liberalisasi; lahirnyaaturan main baru; dan tahap konsolidasi (pelembagaan aturan main yang baru ).Dengan kata lain ada kesepakatan di Antara seluruh stake holder bahwa demokrasi merupakan satu-satunya jalan yang terbaik dalam penyelenggaraan pemerintah (democracy as the only game in town).
Kondisi ini terjadi sebagai akibat reformasi tidak mampu menghasilkan pemerintahan yang kuat yang mampu melakukan perubahan-perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang mendasar sesuai dengan tuntutan reformasi. Pemerintahan yang lemah (weak state atau soft state) ini maksudnya adalah pemerintahan yang tidak memiliki kewibawaan di hadapan rakyat nya dan tidak mampu menegakkan hokum untuk memelihara ketertiban. Penegakan hokum tidak berjalan karena pemerintah tidak dapat menyelesaikan kasus-kasus korupsi dan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lampau.Penyerahan kewenangan yang lebih luas kepada daerah ternyata hanya sampai pada otonomi pemerintah daerah dan bukan otonomi daerah (pemerintah dan masyarakat daerah). Keadaan seperti ini mengarah pada dominasi kekuasan oleh elit lokal. Desentrisasi tampa demokratisasi tampak nya cenderung menghasilkan otonomi pemerintah, dan bukan otonomi masyarakat di daerah. Konsekuensinya, dinamika politik local tidak menjadi proses politik yang mendorong terciptanya iklim kondusif bagi demokratisasi.
PemilihanKepala Daerah SecaraLangsung Dan PeluangDemokratisasi
Esiensi demokrasi adalah partisipasi public dalam mnentukan pejabat-pejabat politik dan dalam pembuatan kebijakan publik. Kualitas system demokrasi ikut ditentukan oleh kualitas proses seleksi para wakil, termasuk wakil yang memperoleh mandatuntuk memimpin pemerintahan. Karena itu, pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu alternatif yang biasa di pilih untuk meningkatkan legitimasi pemerintah daerah.Ada sejumlah argumen yang melandasi relevansi pemilihan kepala daerah secara langsung dengan legitimasi pemerintahan daerah. Pertama, pemilihan secara langsung diperlukan untuk memutus oligarkhi partai yang mewarnai pola pengorganisasian partai politik di DPRD. Kedua, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat meningkatkan kualitas akuntabilitas para elit politik lokal, termasuk kepala-kepala daerah. Mekanisme pemilihan kepala daerah secara perwakilan cenderung menciptakan ketergantungan berlebihan kepala daerah terhadap DPRD. Ketiga, pemilihan langsung kepala daerah akan memperkuat dan meningkat kan seleksi kepemimpinan elit local sehingga membuka peluang bagi munculnya figur-figur alternative yang memiliki kapabilitas dan dukungan riil di masyarakat lokal. Keempat, pemilihan secara langsung lebih meningkatkan kualitas keterwakilan (representativeness) Karena masyarakat dapat menentukan pemimpin nya di tingkat lokal.
Mekanisme rekrutment kepala daerah merupakan salah satu dimensi dalam meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat lokal. Penerapan mekanisme pemilihan langsung tidak dengan sendirinya akan menjamin terjadinya peningkatan kualitas demokrasi. Karena itu, penerapan mekanisme pemilihan langsung harus didukung perubahan konteks. Konteks ini meliputi :
a.       Budaya politik masyarakat
b.      Pola pengorganisasian partai politik cenderung sentralistis dalam stuktur internalnya, yang tampak dari maraknya politik “restu” dari DPP dalam penentuan calon kepala daerah
c.       Politik aliran dalam dinamika politik local akan mengarah pada disintegrasi dan instabilitas
Pemilihan kepala daerah secara langsung akan punya makna dan efektif dalam mengembalikan legitimasi politik jika di dukung oleh prakondisi-prakondisi sebagai berikut :
a.       Secara procedural demokratis :mekanisme demokratis (termasuk penepatan syarat-syaratcalon, mekanisme pencalonan, dan penghitungan suara yang transparan dan adil); aturan main dalam bentuk prundang-undangan yang demokratis (di sepakati seluruh pihak); revisi system pemilu secara distrik sehingga keterwakilan lebih terjamin; pola pengorganisasian parpol yang desentralistis; isu-isu local dalam kampanye pemilu lokal.
b.      Secara substantif ; ada ruang publik yang terbuka dan inkulusif bagi partisipasi publik;






5.      KESIMPULAN
Ø  Dalam demokrasi lokal terdapat beberapa aspek yang harus di penuhi. Demi tercapainya otonomi daerah yang adil dan mementingkan kepentingan masyarakat.
a.       partisipasi dari masyarakat,
b.      pengelolaan sumber daya akuntabel dan transparan oleh masyarakat,
c.       dimanfaatkan secara responsif untuk kepentingan masyarakat luas. Selanjutnya, Benyamin Barber (1984) mengemukakan bahwa desentralisasi tidak semata membentuk pemerintahan daerah yang menjalankan kekuasaan dan menghasilkan kebijakan akan tetapi yang lebih penting adalah membangkitkan kompetensi warga terhadap urusannya sendiri, komunitas, dan pemerintah lokal.
Ø  Pemilihan kepala daerah secara langsung pasti terdapat kelebihan dan kekurangan maupun kekutan dan kelemahan. Terdapat beberapa kelemahan dari relevansi makanisme pemilihan kepala daerah dengan demokrasi lokal. Dalam praktinya, mekanisme perwakilan yang di terapkan dalam proses pemilihan kepala daerah menurut UU No. 22 tahun 1999 juga mempunyai kelemahan kerena memberi ruang yang sangat dominan bagi DPRD dalam proses pemilihan kepala daerah.
6.      SARAN
Dengan demikian, pemilihan kepala daerah secara langsung baru akan bermakna dalam meningkatkan demokratisasi lokal jika didukung oleh upaya revisi system secara keseluruhan. Dinamka politik local tidak berada dalam ruang yang hampa, tapi senantiasa dipengaruhi Tarik-menarik berbagai kekuatan, baik elit maupun massa, baik eksternal maupun internal.

Pemilihan kepala desa secara langsung tidak akan membawa perubahan jika tika tidak di dukung desain sistem pmili nasional yang menjamin keterwakilan dan kwalitas anggota lembanga legislatif. Dalam tataran lokal, sistem pemilihan kepala daerah juga harus memuat ketentuan-ketentuan yang dapat meminimalkan potensi konflik di daerah, baik yang di sebabkan poltik airan, mobilisasi massa, maupun konflik kepentingan yang bersifat elitis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system