MAKALAH
HUBUNGAN
ANTARA LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF DI PEMERINTHAN PUSAT
Oleh:
Kelompok
9 :
Syaiful bahri ( 712.1.1.1841 )
Syaiful rahman nur ( 712.1.1.1842 )
Tutik handayani ( 712.1.1.1843 )
Wawan jaman dari ( 712.1.1.1844 )
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
WIRARAJA
SUMENEP
2013-201
Kata
pengantar
Asslamu'alaikum
warohmatullahi wabarokatuh
Puji serta syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Makalah Pendidikan Pancasila dan kewarganegaran yang berjudul ” Hubungan Legislatif dan Eksekutif di
Pemerintahan Pusat “ Sholawat serta
salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW serta keluarga dan para
sahabatnya.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak
kekurangan dan kelemahan, baik mengenai materi maupun sistematika penulisan.
Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan penulis sendiri. Untuk itu
dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalamu'alaikum
warohmatullohi wabarokatuh
Daftar
isi
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Tujuan................................................................................................... 2
C. Rumusan
Masalah................................................................................ 2
BAB
II PEMBAHASAN
1.
Pengertian legislatif ......................................................................... 3
2.
Pengertian eksekutif ........................................................................ 3
3.
Hubungan antara legislatif dan eksekutif
........................................ 3
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan ......................................................................................... 10
B.
Saran .......................................................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
Pendahuluan
A.
Latar
belakang
Arus reformasi yang melanda Indonesia memberikan
perubahan yang mendasar terhadap format kelembagaan negara republik ini. Salah
satunya adalah adanya perubahan (amandemen) UUD 1945. Implikasi dari perubahan
ini yakni, tidak ada lagi status “lembaga tertinggi negara”. Lembaga
penyelenggara negara sekarang posisinya sejajar, sama-sama sebagai “lembaga
negara”.1 Hubungan
antar lembaga negara menjadi horizontal tidak lagi vertikal.
Dalam UUD 1945 pra-amandemen, Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) menjadi “lembaga tertinggi negara”, lembaga-lembaga negara
dibawahnya menjadi “lembaga tinggi negara” seperti Presiden, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Mahkamah Agung (MA) dan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga tinggi negara harus bertanggung jawab kepada
lembaga tertinggi negara. Kedaulatan rakyat yang dipegang oleh MPR dalam
pelaksanaannya dijalankan oleh lembaga negara dibawahnya (distribution of
power) dan lembaga-lembaga negara tersebut bertanggung jawab kepada MPR.
Misalnya, Presiden sebagai mandataris MPR harus mempertanggungjawabkan
kinerjanya kepada MPR.
Dengan digelarnya UUD 1945 pasca-amandemen—selanjutnya
ditulis UUD NRI 1945, status MPR sebagai lembaga tertinggi negara dihapus.
Posisi MPR sekarang menjadi lembaga tinggi negara sejajar dengan lembaga tinggi
negara lainnya. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 mengatakan: “Kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.3 Setiap
lembaga tinggi negara mempunyai fungsi dan kerja masing-masing serta terdapat
pemisahan kekuasaan (separation of power) didalamnya. Lembaga tinggi
negara yang satu tidak bertanggung jawab kepada lembaga tinggi negara lainnya.
Kinerja lembaga tinggi negara dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
B. Tujuan
Makalah ini dibuat agar
para mahasiswa bisa mengetahui apa sebenarnya dan bagaimana hubungan legislatif
dan eksekutif di pemerintahan pusat, sehingga para mahasiswa bisa mengambil
hal-hal positif yang ada dalam makalah ini dan bisa tahu secara mendalam proses
dan kegiatan yang dilakukan legislatif dan eksekutif.
C. Rumusan masalah
1.
Pengertian
legislatif
2.
Pengertian
eksekutif
3.
Hubungan
antara legislatif dan eksekutif
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Legislatif
Legislatif adalah badan
deliberatif pemerintah dengan
kuasa membuat hukum.
Legislatif dikenal dengan beberapa nama, yaitu parlemen, kongres, dan asembli
nasional. Dalam sistem
Parlemen, legislatif adalah badan tertinggi dan menujuk eksekutif. Dalam sistem
Presidentil, legislatif adalah cabang pemerintahan yang sama, dan bebas, dari
eksekutif. Sebagai tambahan atas menetapkan hukum, legislatif biasanya juga
memiliki kuasa untuk menaikkan pajak dan menerapkan budget dan pengeluaran uang
lainnya. Legislatif juga kadangkala menulis perjanjian dan memutuskan perang.
2.
Pengertian
Eksekutif
Eksekutif adalah
salah satu cabang pemerintahan yang
memiliki kekuasaan dan bertanggungjawab untuk menerapkan hukum. Figur
paling senior dalam sebuah cabang eksekutif disebut kepala pemerintahan.
Eksekutif dapat merujuk kepada administrasi, dalam sistem presidensiil, atau
sebagai pemerintah, dalam sistem parlementer.
3.
Hubungan
antara legislatif dan eksekutif
DPR sebagai
lembaga legislatif adalah badan atau lembaga yang berwenang untuk membuat
Undang-Undang dan sebagai kontrol terhadap pemerintahan atau eksekutif,
sedangkan Eksekutif atau Presiden adalah lembaga yang berwenang untuk
menjalankan roda pemerintahan. Dari fungsinya tersebut maka antara pihak
legislatif dan eksekutif dituntut untuk melakukan kerjasama, apalagi di
Indonesia memegang prinsip Pembagian Kekuasaan. Dalam hal ini, maka tidak boleh
ada suatu kekuatan yang mendominasi.
Dalam setiap
hubungan kerjasama pasti akan selalu terjadi gesekan-gesekan, begitu juga
dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Legislatif yang merupakan
wakil dari partai tentunya dalam menjalankan tugasnya tidak jauh dari
kepentingan partai, begitu juga dengan eksekutif yang meskipun dipilih langsung
oleh rakyat tetapi secara historis presiden memiliki hubungan dengan partai,
presiden sedikit banyak juga pasti mementingkan kepentingan partainya. Akibatnya
konflik yang terjadi dari hubungan eksekutif dan legislatif adalah konflik
kepentingan antar partai yang ada.
Hubungan
eksekutif dan legislatif pada masa sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945
atau dengan kata lain pada masa Orde Baru, adalah sangat baik. Bisa dikatakan
demikian karena hampir tidak ada konflik antara Eksekutif dan Legislatif pada
masa itu. Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan pada masa itu menggunakan
topangan superioritas lembaga eksekutif terhadap DPR dan peran dwifungsi ABRI menghasilkan
kehidupan politis yang stabil. DPR yang tentunya sebagian besar dari Fraksi
Golongan Karya, selalu ‘manut’ dengan apa yang ditentukan oleh Soeharto. Hal
ini sangat berbeda dengan masa setelah Orba, yaitu pada masa reformasi.
Legislatif tidak mau lagi hanya berdiam diri, menuruti segala apa yang
dikatakan presiden. Bahkan cenderung kekuatan legislatif kini semakin kuat. Hal
ini bisa dilihat ketika DPR menjatuhkan impeachment terhadap Gus Dur.
Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pemilihan eksekutif dalam hal ini presiden
dan wakil presiden dan pemilihan legislatif dalam hal ini anggota DPR yang
telah mengubah pola atau sistem yaitu dengan pemilihan langsung oleh rakyat.
Perubahan sistem pemilihan ini ternyata juga berpengaruh terhadap relasi atau
hubungan antara Presiden dengan anggota DPR itu sendiri. Pengaruh yang dimaksud
disini adalah tentang relasi antara Presiden dan anggota DPR yang tidak kunjung
membaik. Dengan pemilihan dari rakyat langsung, membuat Presiden dan anggota
DPR merasa mempunyai legitimasi ataupun mempunyai hak bahwa dirinya adalah
wakil dari rakyat langsung dan merasa punya dukungan penuh dari rakyat.
Perasaan yang seperti ini, maka bisa jadi mendorong presiden menjadi kurang
bertoleransi dengan kelompok oposisi. Hal ini membuat keegoisan antara Presiden
dan anggota DPR menjadi semakin kuat. Bertolak dari pandangan Linz dan Cile
tentang sistem multipartai dalam sistem presidensil, maka bisa jadi hubungan
yang tidak kunjung membaik antara presiden dengan legislative karena sistem
tersebut. Linz menyatakan bahwa jika dalam sistem seperti disebut di atas, maka
hubungan antara eksekutif dan legislative akan mengalami deadlock. Cile juga
berpandapat serupa bahwa deadlock bisa terjadi dan itu akan menghalangi proses
demokrasi.
Hubungan
atau relasi presiden dengan anggota DPR, bisa juga disebabkan oleh sistem
presidensil pada pemerintahan Indonesia. Disini dapat dijelaskan bahwa sistem
presidensil yang tidak mengenal adanya mosi tidak percaya, apabila suatu ketika
ada konflik atau masalah dengan legislative, eksekutif tidak perlu takut dengan
adanya penggulingan kekuasaan, karena DPR tidak bisa memberikan mosi tidak
percaya. Dari sinilah, maka perselisihan antara presiden dengan anggota DPR
bisa terus berlanjut tanpa ada suatu ‘ketakutan’ eksekutif akan kekuasaannya.
Adapun
beberapa hubungan kerja antara legislatif dan eksekutif diantaranya :
1. Hubungan kerja adalah mengenai proses pembuatan undang-undang antara
presiden dan DPR yang diatur dalam pasal 20 ayat 2, 3, 4, dan 5. Yaitu setiap
rancangan undang-undang harus dibahas oleh presiden dan DPR untuk mendapat
persetujuan bersama (ayat 2). Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat
persetujuan bersama, maka rancangan undang-undang itu tidak dapat diajukan lagi
pada masa persidangan itu (ayat 3). Presiden mengesahkan rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama, (ayat 4) dan apabila presiden dalam
waktu 30 hari setelah rancangan undang-undang itu disetujui bersama,
undang-undang itu sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (ayat 5).
Untuk terbentuknya undang-undang, maka harus disetujui bersama antara presiden
dengan DPR. Walaupun seluruh anggota DPR setuju tapi presiden tidak, atau
sebaliknya, maka rancangan undang-undang itu tidak dapat diundangkan.
Selanjutnya mengenai fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR. Yaiyu
mengawasi presiden dan wakil presiden dalam pelaksanaan kekuasaan eksekutif.
Dan DPR dapat mengusulkan pemberhentian Presisiden sebagai tindak lanjut
pengawasan (pasal 7A).
Dalam bidang keuangan,
RUU APBN diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD (pasal 23 ayat 2). Apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang
diusulkan presiden, pemerintah menjalankan APBN tahun lalu (pasal 23 ayat 3).
2.
Hubungan kerja lain antara DPR dengan Presiden antara lain: melantik
presiden dan atau wakil presiden dalam hal MPR tidak dapat melaksanakan sidang
itu (pasal 9), memberikan pertimbangan atas pengangkatan duta dan dalam hal
menerima duta negara lain (pasal 13), memberikan pertimbangan kepada presiden
atas pemberian Amnesti dan Abolisi (pasal 14 ayat 2), memberikan persetujuan
atas pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain
(pasal 11), memberikan persetujuan atas pengangkatan komisi yudisial (pasal 24B
ayat 3), memberikan persetujuan atas pengangkatan hakim agung (pasal 24A ayat
3).
SEKIAN TERIMAH KASIH
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Eksekutif dan legislatif merupakan lembaga penting yang dimiliki
pemerintah untuk menjalankan roda pemerintahan demi terwujudnya kemakmuran dan
kenyamanan rakyat. Dalam hal ini eksekutif dan legislatif harus bertanggung
jawab dan bekerja sama. Karena Eksekutif dan legislatif merupakan wakil rakyat
yang telah dipilih langsung oleh rakyak guna menjalankan aspirasi rakyat yang
telah dimandatkan kepada mereka.
Eksekutif dan legislatif harus benar-benar menjadi jembatan bagi rakyat
terhadap pemerintah dan bukan sebaliknya, eksekutif dan legislatif bukan selalu
mementingkan kepentingan partainya sendiri yang mengatas namakan pemerintah.
B.
Saran
Jika dalam
makalah ini terdapat berbagai kesalahan,kekeliruhan dan kekurangan.Saya selaku
Pemakalah meminta maaf kepada para pembaca, selain itu saya menanti kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca, agar
kretivitas dan skill saya bisa lebih matang dalam pembuatan makalah
selanjutnya bisa lebih baik.
Daftar
Pustaka
Asshiddiqie, Jimly. Prof. Dr. S.H. 2004. Format Kelembagaan dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD
1945. Yogyakarta: FH
UII Press
Asshiddiqie, Jimly. Prof. Dr. S.H. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press
Soimin, SH. dan Sulari S.H. Msi. 2004. Hubungan Badan Legislatif dan Yudikatif dalam Format
Kelembagaan Negara Indonesia. Malang: UMM
Press
MD, Moh. Prof. Dr. SH. SU. 2000. Demokrasi dan
Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan
Kelembagaan Negara. Jakarta: Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar