TUGAS RESUME
DAN POWER POINT POLITIK LOKAL
OLEH :
DWI PUSPITA WULANDARI 713.1.1.1994
KHOLIDATUL JANNAH 713.1.1.1981
ACHMAD ZAIDI 713.1.1.2012
NICO PUTRA SURYA 713.1.1.2025
SEMESTER III
C
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
WIRARAJA SUMENEP
2014 – 2015
BAB 9
STATUS OTONOMI DAN DAMPAKNYA TERHADAP
POLITIK LOKAL
1. Pendahuluan
Karakter
suatu daerah akan memberikan gambaran bentuk status otonomi yang sesuai bagi
daerah tersebut. Pemberian status otonomi telah diwadahi dalam baik di dalam
Konstitusi, maupun di dalam perundang-undangan lain tentang otonomi daerah..
Namun demikian, tidak semua daerah puas dengan status otonomi yang dimilikinya
sehingga muncul keinginan daerah untuk selalu memekarkan diri.
Sejak
tahun 1999, desentralisasi, atau lebih dikenal sebagai otonomi daerah
diimplementasikan di Indonesia sebagai bagian dari program restrukturisasi
nasional (structural adjustment program) yang diresepkan oleh World Bank.Pada akhirnya, banyak daerah
pemekaran baru di Indonesia berdiri tanpa memiliki kelembagaaan yang memadai,
sesuai dengan kebutuhan masyarakat berlatar belakang etnis religius beragam.
Kurangnya studi empiris dan referensi mengenai pemekaran, dapat berdampak pada
kegagalan pemerintah beradaptasi dengan agenda pemisahan daerah administratif (Jones
2004).
2. Permasalahan
Titik Berat Desentralisasi Di Kabupaten/Kota
Titik
berat desentralisasi pada daerah kabupaten/kota menyisakan persoalan antara
lain yaitu:
1. munculnya
ketegangan horizontal daerah kaya Vs. miskin karena masing-masing daerah
mementingkan daerahnya sendiri dan bahkan bersaing satu sama lain dalam
mengumpulkan PAD misalnya;
2. perbedaan
tajam antara kompetensi SDM pusat Vs. daerah;
3. banyak
birokrat daerah yang pasif menunggu instruksi atasan ketimbang berinisiatif
menjalankan pekerjaannya;
4. DPRD
menjadi sangat lamban dalam bekerja, terlebih lagi mereka memprioritaskan gaji
sendiri untuk kepentingan pengembalian dana ke kas partai dan juga memperbesar
anggaran perjalanan dinas;
5. Pemerintah
daerah menjadi mesin pembelanjaan (Ray dan Good Paster, 2005);
6. Beban
keuangan daerah dari pajak ekstra tidak memperhatikan lingkungan;
7. Tidak
adanya koordinasi di tingkat supra-regional, garis batas tanggung jawab antara
pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota sangatkabur;
8. Merebaknya
politik identitas yang ditandai dengan menguatnya egoisme sektoral karena
pembangunan bertumpu pada asas dekonsentrasi dan bersifat sektoral.
9. Peranan
polisi sebaga penjaga keamanan dan ketertiban dan tentara sebagai penjaga
persatuan dan kesatuan di daerah terabaikan.
3. Tinjauan
Kritis Pada Pergeseran Titik Berat Desentralisasi
Kedua
UU berbicara tentang desentralisasi yang menitikberatkan pada daerah
kabupaten/kota dengan pertimbangan:
1. mendekatkan
pelayanan publik pemerintah kepada rakyatnya;
2. cakupan
wilayah provinsi terlalu luas dan kelembagaannya terlalu besar dalam mendorong
roda ekonomi menuju pasar bebas;
3. demokrasi
dapat tumbuh lebih baik bila pemerintahannya berskala kecil;
4. partisipasi
masyarakat sipil dalam pembangunan dapat lebih aktif karena dekat dengan
pemerintah dan pengusaha (good governance);
5. daerah
kabupaten/kota biasanya, walau tidak semuanya, memiliki sentra-sentra kekuatan
ekonomi yang sudah dikelola dengan baik, seperti halnya sumber daya alam,
kebudayaan, dan lainnya;
6. kesejahteraan
rakyat dapat lebih diperhatikan oleh pemerintah;
7. penciptaan
lapangan pekerjaan di daerah terutama di bidang administrasi pemerintahan dapat
menyerap angkatan kerja berasal dari putra daerah.
Sehingga,
agar desentralisasi sukses, hal yang perlu dilakukan adalah menata kembali
kelembagaan desentralisasi beserta kewenangan dengan memperhatikan aspirasi
masyarakat bukan semata-mata kepentingan pemerintah saja.
4. Dasar
Kebijakan Pemberian Status Otonomi Di Indonesia
Titik
berat otonomi daerah di daerah tingkat II selevel kabupaten/kota
ketikaUndang-undang Nomor 22/1999 diterbitkan telah menimbulkan permasalahan
instabilitas politik di daerah yang ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI)
Pemberian
status otonomi terhadap satu daerah pada akhirnya menimbulkan masalah baru,
terutama bagi daerah-daerah yang belum siap secara matang baik dalam hal sumber
daya dan kelembagaan. Status otonomi khusus seperti di Aceh dan Papua pada
akhirnya mendorong daerah lain menuntut hal sama, di saat masalah konflik dan
kesejahteraan belum tertangani secara adil di kedua daerah khusus tersebut.
5. Imbas
Status Otonomi Khusus pada Dinamika Politik Lokal NAD dan Papua
Pertimbangan pemerintah pusat dalam melahirkan
undang-undang ini antara lain:
a. bahwa
sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-undang
Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang;
b. bahwa
salah satu karakter khas yang alami di dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh
adalah adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi yang bersumber pada
pandangan hidup, karakter sosial dan kemasyarakatan dengan budaya Islam yang
kuat sehingga Daerah Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut
dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. bahwa
untuk memberi kewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahan bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh, dipandang perlu memberikan otonomi khusus;
d. bahwa
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta
undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah dipandang belum menampung sepenuhnya hak asal-usul
dan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh;
e. bahwa
pelaksanaan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Pemberian
status otonomi khusus bagi Provinsi Nanggoe Aceh Darussalam (NAD) tidak
berhenti sampai disitu, karena pada tahun 2006 lahir Undang-undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai konsekuensi dari MoU Helsinki
Finlandia.Dengan kebijakan otonomi daerah melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 seharusnya ia juga dapat melaksanakannya sama dengan daerah lainnya, tidak
perlu otonomi khusus. Berdasarkan pemaparan di
atas, baik landasan konsep dan kebijakan mengenai titik berat desentralisasi
maupun pemberian status otonomi, memiliki permasalahan masing-masing pada saat
implementasi di lapangan. Permasalahan tersebut menandakan bahwa otonomi
merupakan suatu dinamika, terutama berdampak pada level lokal.Hendaknya, kebijakan
pemberian status otonomi terhadap suatu daerah merupakan pencerminan atas
kebutuhan sosial ekonomi dan politik rakyat setempat. Kebijakan pemberian
status otonomi bersifat universal atau seragam hendaknya perlu ditinjau
kembali, karena pemberian status otonomi khusus semisal di NAD dan Papua
sendiri masih menimbulkan konflik kesenjangan di berbagai
sektor.
6.
Dampak
otonomi daerah terhadap masyarakat
Otonomi
daerah telah telah melahirkan begitu banyak perubahan dalam kehidupan
masyarakat, berbangsa da bernegara. Dampak otonomi daerah sangat luas, tidak
hanya sekedar menciptakan perubahan pada aspek pemerintahan tetapi perubahan
pada hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat termasuk budaya, ekonomi dan
politik.
Dampak
otonomi daerah yang luas tersebut timbul karena otonomi daerah pada dasarnya
memiliki makna strategis yang berkaitan erat dengan tata kehidupan sosial,
budaya, ekonomi dan politik masyarakat indonesia, yang di tandai dengan
meningkatnya peran masyarakat dalam proses pembangunan. Peran tersebut
diwujudkan dalam bentuk partisipasi, prakarsa dan kreativitas untuk mengatur
dan mengurus rumah tangga daerahnya masing-masing.
Secara
faktual, konepsi otonomi daerah sejak dilaksanakan pada tahun 1999 hingga saat
ini telah melahirkan berbagai perubahan, diantara sekian banyak dampak otonomi
daerah terhadap kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara tersebut, ada
damapak otonomi daerah yang dinilai positif tetapi tidaksedikit pula dampak
otonomi daerah yang diniai negatif. Dampak positif yang dirasakan adalah bahwa
dengan otonomi daerah maka pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk
menampilkan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan
kendali perintah pusat mendapatka respon tinggi dari perintah dearah dalam
menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang di
peroleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari
pemerintahan pusat. Dana tersebut memungkin pemerintah lokal mendorong
pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan serta membangun
program promosi kebudayaan dan juga parawisata yang sudah mengakar. Dengan
melakukan otonomi daerah maka kebijakan-kebijakan pemerintah akan lebih tepat
sasaran , hal tersebut dikarenakan pememrintah daerah cenderung lebih mengerti
keadaan dan situasi daerahnya, serta potensi-potensi yang ada di daerahnya
daripada pemerintah pusat. Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya
kesempatan bagi oknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang
dapat merugikan Negara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain
itu terkadang ada kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan
konstitusi negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan
daerah tetangganya.
7.
Beberapa
contoh kasus penyalahgunaan OTONOMI DAERAH oleh ELIT LOKAL
Dalam
kenyataannya, otonomi daerah yang dalam hakikatnya merupakan suatu tujuan yang
sangat baik bagi kemajauan bangsa ini, justru banyak sekali terjadi
penyalahgunaan dalam pelaksanaanya, tidak hanya di tingakt pemerintah pusat
melainkan di tingkat pemerintah daerah hingga unsur pelaksana lainnya dalam
pelaksanaan otonomi daerah ini. Walaupun pemerintah sering menyuarakan program
otonomi daerah ini di setiap sudut wilayah negara, namun pada kenyataannya
pembangunan masih belum merata di setiap daerah di Indonesia. Berbagai cara
dilakukan demi meratanya pembangunan dan kesejahteraan bangsa ini yang pada
kenyataanya mendapatkan hasil yang kurang memuaskan bahkan nihil. Pelaksanaan
otonomi daerah yang disalahgunakan mengakibatkan kekecewaan masyarakat daerah
setempat. Kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap ketidakpuasan pelaksna
otonomi daerah rata-rata terwujud dalam bentuk hal negatif. Beberpa contoh
kasus adalah sebagai berikut:
Kekecewaan masyarakat Papua terhadap pelaksanaan otonomi
Daerah yang tidak sesuai harapan.
Beberapa kasus muncul di Papua akibat
kesalahan dalam pelaksanaan Otoonomi Daerah, antara lain kasus Freeportdanorganisasi Papua Merdeka
(OPM). Kasus Freeportadalah kasus
mengenai suatu perusahaan tambang yang sudah sekian lama mengeruk kekayaan alam
Papua , justru kehadiran PT. Freeport merugikan penduduk pribumi. Sedangkan
kasus kasus organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah kasus yang menginginkan
penduduk pribumi Papua untuk lepas dari Negara kesatuan Republik indonesia dan
membentuk Negara sendiri.
Pada kasus Freeport, pemerintah memberi ijin kepada PT Freeport untuk
melakukan kegiatan pertambangan di daerah Papua. Pemberian ijin dalam melakukan
kegiatan pertambangan ini merupakan suatu bentuk kewenangan pemerintah daerah
dalam pelaksanaan otonomi daerah, guna membangun daerahnya. Dalam pemberian
ijin ini pemerintah pusat pun terlibat. Adanaya suatu industri di suatu daerah
harusnya memberikan kemajuan bagi masyarakat sekitar, entah itu industri yang
dijalankan bangsa Imdonesia itu sendiri maupun bangsa luar.
Sebagai akibat dari rasa ketidakpuaasan atau
kekecewaan mendapatkan perilaku yang tidak adil, beberapa penduduk papua
menghendaki adanya negara baru, Organisasi papua Merdeka (OPM). Beberpa aksi gencar
diluncurkan demi mewujudkan keinginan memisahkan diri dari Negara kesatuan
Republik Indonesia. Aksi yang sering mereka lakukan dalam menyampaikan
aspirasinya adalah melalui mengibarkan bendera bintang kejora di berbagai
wilayah Papua. Namun pemerintah Indonesia tidak tinggal diam menghadapi
permasalahan ini. Aparat keamanan dikerahkan untuk menjaga kesatuan negara
Indonesia ini dan menindak tegas segala oknum yang ikut campur dalam Organisasi
Papua Merdeka (OPM).
Sebab terjadinya berbagai di Papua menurut
wakil ketua komisi 1 DPR TB Hasanuddin ada 4 faktor, yakni yang pertama, masih adanya perbedaan persepsi
masalah integrasi papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurut dia, pemerintah menganggap masalah Papua telah final sejak Pentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Kedua, adanya
marjinalisasi terhadap penduduk asli Papua. Ketiga,
masih adanya pelanggaran HAM yang terus terjadi kendati memasuki era reformasi. Keempat, masalah otonomi khusus (Otsus)
yang dianggap Papua tidak jalan.
Korupsi
para Pejabat daerah
Otonomi daerah dengan tujuan agar
daerah-daerah dapat mengelola secara mandiri segala sumberdaya, keuanagan,
maupun sumber-suber lain sebagai pendapat bagi daerah. Antusias yang tinggi “
untuk meningkat kemajuan daerah “ terlihat dari banyaknya daerah-daerah yang
meminta dimekarkan sehingga terjadi pemekaran daerah besar-besaran di seluruh
wilayah Indonesia. Yang menarik dari “proses mekarnya suatu daerah” ini adalah
menjamunya praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum yang bernama
pemimpin/petinggi di daerah. Banyak contoh kasus yang dapat memperlihatkan hal
ini. Beberapa kasus korupsi yang dilakukan pemimpin daerah dari Provinsi
Sumatra Barat yang saya ambil dari beberapa sumber.
Pertama,
Yunier Lahar, yang menjabat Walikota Solok. Kasus yang menjaratnya adalah
“pembatalan kerjasama antara Pemerintah kota Solok, Sumatra Barat dan Investor
Hariadi, yang menyebabkan kerugian negara”. Dalam hal ini negara dirugikan
sebesar 1,3 miliar (kompas, 11 agustus 2004)
Kedua,
kasus korupsi yang menimpa Wakil Bupati agam. Umar diduga terlibat dalam kasus
korupsi proyek swakelola perbaikan jalan lingkungan Dinas Pekerjaan umum
Kabupaten Agam tahun 2008 dengan kerugian negara RP 2,9 miliar (kompas, selasa,
9 November 2010)
Ketiga,
kasus pengalihan tanah negara di Kabupaten Solok yang dilakukan oleh Wakil
Walikota Pariaman Helmi Darlis. Dalam kasus ini kejati Sumbar telah menetapkan
tujuh tersangka termasuk mantan Bupati Solok, Gusmal. Dalam kasus ini negara
dirugikan sekitar Rp 288 juta (padangkspress, sabtu, 9 juli 2011).
Keempat,
Masriadi Martunus dan Edityawaran (mantan Bupati dan asisten III, Pemkab Tanah
Datar, Sumber) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan bagi-bagi bunga
deposito APBD Tanah Datar tahun 2001-2004 senilai Rp 1,7miliar (Suara karya, 16
Januari 2007)
Kelima,
kasus korupsi yang menimpa wakil Walikota Bukittinggi pada tahun 2009 (kompas,
14 Maret 2009)
Keenam,
kasus korupsi yang menimpa ketua DPRD kota Payakumbuh Chin Star. Chin Star
mengaku telah mengakui telah menyalahgunakan keuangan APBD di luar ketentuan
peraturan Pemerintah No 110 Tahun 2000, sekitar Rp 167 juta. Masih banyak
contoh kasus lain yang dapat membuktikan betapa maraknya praktik korupsi yang
dilakukan oknum yang berada di daerah.
Dampak
Positif dan Negatif Desentralisasi bagi Kemajuan Bangsa Indonesia
Jika kita
tinjau lebih jauh penerapan kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi
sekarang ini, cukup memberikan dampak positif nagi perkembangan bangsa
indonesia. Dengan adanya sistem desentralisasi ini pemerintahan daerah diberi
wewenang dan tanggung jawab untuk mengatur daerahnya, karena dinilai
pemerintahan daerah lebih mengetahui kondisi daerahnya masing-masing. Disamping
itu dengan diterapkannya sistem desentralisasi diharapkan biaya birokrasi yang
lebih efisien. Hal ini merupakan beberapa pertimbangan mengapa otonomi daerah
harus dilakukan.
Dalam
setiap kebijakan atau keputusan yang diambil pasti ada sisi positif dan sisi
negatifnya. Begitu juga dengan penerapan sistem desentaralisasi ini, memiliki
beberapa kelemahan dan kelebihan. Secara terperinci mengenai dampak dampak
positif dan negatif dari desentarlisasi dapat di uraikan sebagai berikut :
Dari segi ekonomi banyak sekali keutungan dari
penerapak sistem desentralisasi ini dimana pemerintahan daerah akan mudah untuk
mengelola sumber daya alam yang dimilikinya, dengan demikian apabila suber daya
alam yang dimiliki telah dikelola secara maksimal maka pendapatan daerah dan
pendapatan masyarakat akan meningkat. Seperti yang diberitakan pada majalah
Tempo Januari 2003 “Desentralisasi:
Menuju Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Berbasis Komunitas Lokal”disebutkan
:
“Sebagaimana telah
diamanatkan oleh Deklarasi Rio dan Agenda 21, pengelolaan sumberdaya alam
berbasis komunitas merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat
meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek positif secara
ekologi dan dan sosial. Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya
kelautan berbasis komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di indonesia,
selain karena efeknya yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia
memiliki keterikatan yang kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang
dilakukan akan diusahakan demi kebaikan daerahnya dan tidak sebaliknya